Early
Childhood : Golden Age
Secara
kronologis (menurut urutan waktu), early childhood adalah masa perkembangan
anak dari usia 1 atau 2 tahun hingga 5 atau 6 tahun. Masa ini merupakan masa
emas ( golden age ) bagi anak. Artinya bila seseorang pada masa itu mendapat
pendidikan yang tepat, maka ia memperoleh kesiapan belajar yang baik yang
merupakan salah satu kunci utama bagi keberhasilan belajarnya pada jenjang
berikutnya.
Realitas itu didasarkan pada hasil penelitian Dr.Benyamin S.Bloom, penulis Stability and Change in Human Characteristics yang mengemukakan
bahwa sekitar 50 persen potensi inteligensi anak sudah terbentuk
pada usia 4 tahun dan mencapai 80 persen saat berusia 8 tahun dari total kecerdasan yang akan dicapai pada usia 18
tahun. Berbagai penelitian ilmiah juga menunjukkan bahwa
usia 4 tahun pertama merupakan masa-masa paling menentukan dalam membangun
kecerdasan anak dibandingkan masa-masa sesudahnya. Artinya, jika pada usia
tersebut anak tidak mendapatkan rangsangan yang maksimal, maka potensi tumbuh
kembang anak tidak akan teraktualisasikan secara optimal (Sutaryati, 2006:10). Dan
masa emas yang demikian berpengaruh terhadap perkembangan anak pada masa-masa
berikutnya itu, seumur hidupnya hanyalah datang sekali. Sehingga apabila
terlewati, dimana pada masa itu anak tidak mendapat pendidikan yang tepat, maka
anak akan kehilangan peluang untuk membangun pondasi untuk keberhasilannya di
masa depan.
Maka tidak heran jika
kini telah menjadi tren di mana-mana, para orang tua cenderung menyekolahkan
putra-putrinya lebih awal (early childhood education). Setiap menjelang tahun
ajaran baru, Play Group (PG) dan Taman Kanak-kanak (TK) ramai diserbu banyak
orang, yang masing-masing terdorong oleh keinginan untuk memberikan pendidikan yang terbaik bagi
anak-anaknya meski harus merogoh kocek dalam-dalam.
Fenomena early childhood education ini di satu
sisi menggembirakan, selain - mengingat kenyataan bahwa early childhood
merupakan golden age - juga dalam
konteks yang lebih luas dan jauh ke dapan, early childhood education dapat menjadi investasi strategis untuk membangun Sumber
Daya Manusia yang unggul dan berkualitas, sehingga di kemudian hari bangsa ini mampu menjadi bangsa yang maju dan
mandiri.
Namun
ditengah menjamurnya lembaga-lembaga pendidikan yang menyelenggarakan
pendidikan usia dini, pada sisi lain fenomena ini menyimpan kekhawatiran.
Kekhawatiran itu muncul akibat tidak sedikit lembaga penyelenggara pendidikan
usia dini yang demi sebuah prestise menerapkan kurikulum yang terlalu berat,
banyak mengatur dan mengontrol (seperti calistung misalnya) yang tidak lagi
sesuai dengan keunikan dan tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia
dini itu sendiri. Padahal Pemerintah sendiri telah memberikan batasan melalui
UU Sisdiknas No.20/2003 yang menegaskan bahwa tujuan utama Pendidikan Anak Usia
Dini adalah untuk membentuk anak Indonesia
yang berkualitas, yaitu anak yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan tingkat
perkembangannya sehingga memiliki kesiapan yang optimal di dalam memasuki
pendidikan dasar serta mengarungi kehidupan di masa dewasa.
Betapa tidak
mengkhawatirkan. John Cadlwell Holt dalam bukunya How Children Fail (1964),
menyatakan :
“Manusia pada dasarnya adalah makhluk belajar dan senang
belajar sehingga kita tidak perlu ditunjukkan bagaimana cara belajar. Yang
membunuh kesenangan belajar adalah orang-orang yang berusaha menyelak,
mengatur, atau mengontrolnya”.
Dimana dengan merdasarkan pada
filosofi ini, maka kurikulum pendidikan usia dini yang terlalu berat, banyak
mengatur dan mengontrol bisa membunuh kreativitas yang akan berakibat kontra
produktif bagi si anak. Lain dari pada itu Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib KW yang
digelari ‘pintu ilmu pengetahuan’[1]
dalam konteks pendidikan anak menyatakan :
لاَعِبُوهُمْ سَبْعًا وَأَدِّبوُهُمْ سَبْعًا وَصَادِقُوهُمْ سبعًا، ثم اتْركُوا لهم الحَبْلَ عَلى
الْغَارِب
“Ajaklah mereka bermain
pada usia 0-7 tahun, ajarilah mereka adab/disiplin pada usia 7-14 tahun,
jadilah teman baik mereka pada usia 14-21 tahun, kemudian biarkan mereka
mandiri ”.
Pernyataan
Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib KW di atas menegaskan bahwa pendidikan
anak memiliki 4 tahap yaitu; Tahap bermain (0-7 tahun), tahap penanaman
disiplin (7-14 tahun), tahap kemitraan (14-21 tahun) dan tahap kemandirian (21
tahun ke atas).
Oleh
karena itu, penerapan pendidikan anak usia dini (early childhood education)
meniscayakan pemahaman terhadap model pembelajaran yang tepat yang bepijak pada
pengenalan terhadap perkembangan anak usia dini secara cermat.
Perkembangan
Anak Usia Dini
Terkait
dengan penerapan model pembelajaran yang ideal, setidaknya ada tiga macam
perkembangan anak usia dini yang mesti dicermati, yaitu perkembangan fisik,
perkembangan kognitif, dan perkembangan psikososial.
1.
Perkembangan Fisik
Pada masa early childhood, telah tampak pada anak otot-otot
tubuh yang tumbuh yang memungkinkan
dapat melakukan ketrampilan motorik halus maupun motorik kasar. Dan pada masa
ini, gerakan anak lebih terkendali dan terorganisasi dalam pola-pola seperti
menegakkan tubuh dalam posisi berdiri, tangan dapat terjuntai dengan santai,
mampu melangkahkan kaki dengan menggerakkan tungkai dan kaki, yang
memungkinkannya dapat merespon pelbagai situasi.
Pada masa ini juga, gigi anak mencapai 20 buah, otot dan
sistem tulang terus tumbuh sejalan dengan usianya, dan kepala serta otaknya
telah mencapai ukuran orang dewasa dimana jaringan sarafnya tumbuh mengikuti
pertumbuhannya.
Secara khusus perkembangan motorik anak (proses
tumbuh kembang kemampuan gerak) pada dasarnya berkembang sejalan dengan kematangan saraf dan
otot anak. Sehingga, setiap gerakan sesederhana apapun, adalah merupakan hasil
pola interaksi yang kompleks dari berbagai bagian dan system dalam tubuh yang
dikontrol oleh otak. Secara rinci tahapan-tahapan perkembangannya pada masa
early childhood sebagai berikut:
Usia
2-3 tahun
Motorik Kasar
|
Motorik Halus
|
• melompat-lompat
• berjalan mundur dan jinjit • menendang bola • memanjat meja atau tempat tidur • naik tangga dan lompat di anak
tangga terakhir
• berdiri dengan 1 kaki |
• mencoret-coret dengan 1
tangan
• menggambar garis tak beraturan • memegang pensil • belajar menggunting • mengancingkan baju • memakai baju sendiri |
Usia
3-4 tahun
Motorik Kasar
|
Motorik Halus
|
• melompat dengan 1 kaki
• berjalan menyusuri papan • menangkap bola besar • mengendarai sepeda • berdiri dengan 1 kaki |
• menggambar manusia
• mencuci tangan sendiri • membentuk benda dari plastisin • membuat garis lurus dan lingkaran
cukup rapi
|
Usia
4-5 tahun
Motorik Kasar
|
Motorik Halus
|
• menuruni tangga dengan cepat
• seimbang saat berjalan mundur • melompati rintangan • melempar dan menangkap bola • melambungkan bola |
• menggunting dengan cukup baik
• melipat amplop • membawa gelas tanpa
menumpahkan isinya
• memasukkan benang ke lubang
besar
|
Teori yang secara detail menjelaskan sistematika motorik
yaitu Dynamic System Theory yang dikembangkan Thelen & Whiteneyeer
mengungkapkan bahwa untuk membangun kemampuan motorik anak harus mempersepsikan
sesuatu di lingkungannya yang memotivasinya untuk melakukan sesuatu, dan
menggunakan persepsinya tersebut untuk bergerak. Kemampuan motorik
mempresentasikan keinginan anak. Misalnya ketika anak melihat mainan yang
beraneka ragam, anak memperspsikan dalam otaknya bahwa dia ingin memainkannya. Persepsi
tersebut memotivasi anak untuk melakukan sesuatu yaitu bergerak untuk
mengambilnya.
Teori tersebut juga menjelaskan bahwa kemampuan anak
menciptakan motorik baru merupakan hasil dari banyak faktor, yaitu perkembangan
sistem saraf, kemampuan fisik yang memungkinkannya untuk bergerak, keinginan
anak yang memotivasinya untuk bergerak, dan lingkungan yang mendukung
pemerolehan kemampuan motorik.
2.
Perkembangan Kognitif
Menurut Piaget (ahli psikologi kognitif), kondisi berpikir
anak pada masa ini berada pada tahap pra-operasional. Pieget -
yang menganut teori konstruktivisme, (yang menggambarkan perkembangan kognitif bukan
sebagai pemunculan pengetahuan dan kemampuan bawaan)
– membagi perkembangan kognitif menjadi empat tahapan yaitu: Pertama; Tahap Sensori Motorik untuk anak usia 0–2 tahun, Kedua; Tahap Pra- Operasional untuk anak usia 2–7 tahun, Ketiga; Tahap Operasional Konkrit untuk anak usia 7–11 tahun, dan Keempat; Tahap Operasional Formal untuk anak usia 11 tahun
sampai anak berusia dewasa.
Menurutnya tahap pra-operasional adalah tahap
dimana proses berpikir berpusat pada penguasaan simbol-simbol misalnya
kata-kata yang mampu mengungkapkan pengalaman masa lalu. Karaktersistik utama
kognitif pada tahap ini adalah :
a. Egocentrism
(Egosentris)
Maksudnya anak tidak dapat melihat sesuatu dari pandangan
orang lain. Misalnya saat anak berbicara satu sama lain dalam kelompok bermain,
tidak terjadi saling interaksi dalam topik pembicaraan.
b. Rigidity
of Tough (Kekakuan berpikir)
Artinya kecenderungan berpikir anak hanya pada satu pandangan
dan mengabaikan pandangan orang lain (centracion). Misalnya ketika
melihat air di gelas yang tinggi dan gelas yang pendek lebar, meskipun isi air
di kedua gelas itu sama, anak tetap akan mengatakan bahwa air di gelas tinggi
lebih banyak, karena anak hanya memandang dari satu sisi (ketinggian gelas) dan
mengabaikan yang lain (isi dalam gelas yang berbeda).
Centracion dan Egocentrism merefleksikan
ketidakmampuan anak pada masa early childhood menghadapi beberapa segi dari
situasi pada saat yang bersamaan dan menyebabkan pandangan yang bias. Anak pada
masa ini dalam memandang suatu keadaan lebih memfokuskan pada tampilan keadaan
( focus on states atau focus on appearance), bukan pada isi atau kenyataan di
balik tampilan itu. Anak pada masa ini juga berpikir hanya pada keadaan
‘sebelum’ dan ‘sesudah’ tidak pada proses perubahan dari sebelum dan sesudah
melihat tampilan suatu keadaan.
c. Semilogical
Reasoning (Penalaran yang semi
logis).
Maksudnya
anak pada usia ini, akibat dari cara berpikir yang egosentris dan kaku, dalam
menjelaskan kejadian alamiah sehari-haei dengan melakukan personifikasi.
Misalnya bulan mempunyai kaki, karena dapat berjalan mengikutinya.
d. Limited
Social Cognition (Keterbatasan
menangkap peristiwa sosial).
Artinya
dalam berpikir cenderung bersifat kuantitas dan serba fisik, belum mampu
berpikir pada tataran abstrak yang bersifat kualitas. Piaget membuktikan
keterbatasan menangkap peristiwa sosial saat anak mengatakan si A yang
memecahkan gelas satu lusin ketika sedang membantu ibunya, sangat bersalah,
daripada si B yang memecahkan gelas satu buah ketika sedang mencuri minuman
ibunya.
3.
Perkembangan Psikososial
Mengacu
pada teori Erikson, pada masa early childhood, anak mencapai suatu tahap
kemandirian tertentu (pada usia 2-3 tahun) apabila mendapat kesempatan dan
memperoleh dorongan dari orang tua/ gurunya, untuk melakukan yang
diinginkannya, dan sesuai dengan tempo dan caranya sendiri. Tetapi jika orang
tua/ guru tidak sabar dan terlalu banyak melarang, maka anak akan memiliki
sikap ragu-ragu terhadap lingkungannya. Tahap ini oleh Erikson disebut tahap Autonomy
vs Shame and Doubt.
Selanjutnya
pada usia 4-5 tahun, anak mencapai tahap Insiative vs Guilt yaitu
kemampuan untuk melakukan partisipasi dalam berbagai kegiatan fisik dan mampu
mengambil insiatif untuk suatu tindakan yang akan dilakukan. Pada tahap ini
jika anak diberi kebebasan untuk menjelajah dan bereksperimen dalam
lingkungannya, dan orang tua/ guru memberi waktu untuk menjawab pertanyaan anak dan menuruti
keinginannya, maka anak cenderung akan lebih banyak mempunyai insiatif dalam
menghadapi masalah yang ada disekitarnya. Sebaliknya jika selalu dihalangi
keinginannya dan pertanyaan atau apa saja yang dilakukannya dianggap tidak ada
artinya, maka anak akan selalu merasa bersalah.
Early
Childhood Education yang Ideal
Dengan
mencermati perkembangan anak pada masa early childhood baik perkembangan fisik,
kognitif maupun psikososial, maka pendidikan usia dini hendaknya tetap mengacu
pada buah pikiran Froebel yang menyatakan bahwa pendidikan usia dini adalah
konsep belajar melalui bermain baik bermain bebas, bermain dengan bimbingan,
maupun bermain yang diarahkan yang berdasarkan minat anak, dimana anak sebagai
pusatnya (child centered) yang menurut Mentessori anak-anak adalah
individu-individu yang unik dan akan berkembang sesuai kemampuan mereka
sendiri. Tugas orang tua dan orang dewasa sebagai pendidik/pengasuh adalah
bagaimana memberi sarana dorongan belajar dan memfasilitasi ketika mereka telah
siap untuk mempelajari sesuatu. Dan patut dicatat pula bahwa tidak ada anak
yang bodoh di dunia ini. Yang ada hanyalah ketertarikan dan minat mereka yang
beraneka ragam. Anak-anak mempunyai kecerdasan dan bakat yang berbeda-beda,
tugas kita hanyalah memfasilitasi mereka sesuai perkembangan yang mereka
butuhkan.
Karenanya
untuk menuju pada early childhood education yang ideal, perlu diperhatikan
prinsip-prinsip berikut :
1.
Pendidikan usia dini merupakan salah satu bentuk
awal pendidikan sekolah (prasekolah). Untuk itu pendidikan usia dini perlu
menciptakan situasi pendidikan yang dapat memberikan rasa aman dan
menyenangkan.
2.
Masing-masing anak perlu mendapat perhatian yang
bersifat individual sesuai dengan kebutuhan anak usia prasekolah.
3.
Perkembangan adalah hasil proses kematangan dan
belajar.
4.
Kegiatan belajar di pendidikan usia dini adalah
pembentukan perilaku melalui pembiasaan yang terwujud dalam kegiatan
sehari-hari
5.
Sifat belajar di pendidikan usia dini merupakan
pengembangan kemampuan yang telah diperoleh di rumah.
6.
Bermain merupakan cara yang paling baik untuk
mengembangkan kemampuan dan kecerdasan anak didik.
Dan
yang tidak boleh diabaikan adalah anak-anak mempunyai kecerdasan dan bakat yang
berbeda-beda. Tugas orang tua/ guru adalah memfasilitasi mereka sesuai
perkembangan yang mereka butuhkan. Kecerdasan yang berbeda-beda itu yang
dikenal dengan kecerdasan multipel (multiple
inteligensia) meliputi verbal-linguistic (kemampuan menguraikan pikiran
dalam kalimat-kalimat, diskusi, tulisan), logical–mathematical (kemampuan
menggunakan logika-matematik dalam memecahkan berbagai masalah), visual spatial
(kemampuan berpikir tiga dimensi), bodily-kinesthetic (ketrampilan gerak, menari,
olahraga), musical (kepekaan dan kemampuan berekspresi dengan bunyi, nada,
melodi, irama), intrapersonal (kemampuan memahami dan mengendalikan diri
sendiri), interpersonal (kemampuan memahami dan menyesuaikan diri dengan orang
lain), naturalist (kemampuan memahami dan memanfaatkan lingkungan).
Untuk menumbuh kembangkan
kecerdasan-kecerdasan tersebut, anak pada usia dini (early childhood)
memerlukan stimulan-stimulan sebagai berikut :
I
|
Verbal-linguistic
(kecerdasan berbahasa verbal)
|
1. Diajak bercakap-cakap
|
|
2. Dibacakan buku cerita
berulang-ulang
|
|
3. Menyanyi lagu anak-anak
|
|
4. Dirangsang untuk berbicara dan bercerita
|
|
II
|
Logical–mathematical (kecerdasan
logika-matematik)
|
1. Menyusun balok
|
|
2. Merangkai
|
|
3. Menghitung mainan
|
|
4. Main Puzzle
|
|
5. Permainan komputer
|
III
|
Visual spatial (kecerdasan visual)
|
1. Mengamati gambar, foto
|
|
2. Belajar melipat dan
menggambar
|
|
3. Bermain rumah-rumahan
|
|
4. Diajak permainan
komputer
|
|
IV.
|
Bodily-kinesthetic
(kecerdasan gerak tubuh)
|
1. Belajar berdiri satu
kaki
|
|
2. Melatih jongkok,
membungkuk
|
|
3. Belajar melompat,
berlari, melempar, menangkap, menari
|
|
4. Mengajak anak pada olah
raga permainan
|
|
V.
|
Musical (kecerdasan
musikal)
|
1. Mengajak anak
mendengarkan musik
|
|
2. Mengajak anak bernyanyi
|
|
3. Memainkan alat musik
|
|
4. Melatih anak mengikuti
nada dan irama
|
|
VI
|
Interpersonal (kecerdasan
emosi inter-personal)
|
1. Mengajak anak bermain
bersama dengan anak yang lebih tua dan muda
|
|
2. Melatih anak untuk
meminjamkan mainan
|
|
3. Mengajak anak
untuk bekerja sama membuat sesuatu
|
|
VII
|
Intrapersonal (kecerdasan
emosi intra-personal)
|
1. Mengajak anak untuk
menceritakan perasaannya
|
|
2. Melatih anak untuk
belajar mengungkapkan keinginan
|
|
3. Mengajak ngobrol anak mengenai
cita-cita
|
|
VIII
|
Naturalist (kecerdasan
Naturalis)
|
1. Mengajak anak untuk
memelihara tanaman di pot
|
|
2. Memelihara binatang
|
|
3. Wisata ke hutan, pantai,
sungai dan gunung
|
|
4. Mengamati bulan, langit
dan bintang
|
Wallahu
a’lam bis-shawab
DAFTAR PUSTAKA
Erikson (1993) Miller P.H,(1993)
Theories of Developmental Psychology, 3 th, Ed. New York : WH Freeman and
Company.
Eti Nurhayati (2011) Psikologi
Pendidikan Inovatif, Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Miller P.H,(1993) Theories of Developmental
Psychology, 3 th, Ed. New York : WH Freeman and Company.
Rahmah, Elfi Yuliani (2005) Psikologi
Perkembangan, Ponorogo : STAIN Press
Patmonodewo S (2000) Pendidikan Anak
Prasekolah, Jakarta : Rineka Cipta
Sri Rahayu Haditono, (1994) Psikologi
Perkembangan : Pengantar dalam berbagai bagiannya, Yogyakarta : UGM Press
Muslihatoen, R (1999) Metode
Pengajaran di Taman Kanak-kanak, Jakarta : Rineka Cipta
Makalah ini merupakan tugas mata kuliah Psikologi Perkembangan pada Program Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon Program Studi Pendidikan Agama Islam.
[1]
Dari sabda Rasulullah SAW : “Ana madinatul ‘ilmi wa ‘Aliyyun babuha”
(Aku adalah kota ilmu pengetahuan, sedang Ali adalah pintu gerbang untuk
memasukinya)