*
Telaah ayat-ayat
al-Quran yang berbicara tentang manusia, memberi gambaran kontradiktif menyangkut keberadaannya. Disatu sisi manusia
dalam al-Quran sering mendapat pujian Tuhan. Seperti pernyataan terciptanya
manusia dalam bentuk dan keadaan yang sebaik-baiknya, kemudian penegasan
tentang dimuliakannya makhluk ini dibanding dengan kebanyakan makhluk-makhluk
lain. Sedang di sisi lain sering pula manusia mendapat celaan Tuhan. Seperti
bahwa ia amat aniaya dan ingkar nikmat, dan sangat banyak membantah serta bersifat keluh kesah lagi kikir[1].
Gambaran kontradiktif
itu bukanlah berarti bahwa ayat-ayat yang berbicara perihal manusia
bertentangan satu sama lain, melainkan justru menandakan bahwa makhluk yang
bernama manusia itu unik, makhluk yang serba dimensi, dan makhluk yang berada
di antara predisposisi negatif dan positif[2].
Hal ini dapat difahami dengan mengkaji asal-usul kejadiannya, proses
penciptaannya dan keragaman terminologinya dalam al-Quran.
Asal-usul kejadian manusia.
Generasi manusia
yang ada sampai sekarang, dalah berasal dari manusia pertama yang bernama Adam dengan
istrinya yang populer bernama Hawa[3].
Diantara ayat yang secara jelas menyatakan bahwa Adam dan Hawa adalah ayah dan
ibu generasi manusia setelahnya, adalah:
يَا بَنِي آدَمَ لَا يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ
كَمَا أَخْرَجَ أَبَوَيْكُمْ مِنَ الْجَنَّة
“Hai anak-anak
Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syetan, sebagaimana ia telah
mengeluarkan ibu-bapakmu dari surga” (QS. Al-A’raf : 27)
Adam sendiri
diciptakan dari tanah sebagaimana diceritakan oleh Allah SWT dalam beberapa
firman-Nya yang salah satunya pada firman berikut:
إِنَّ
مَثَلَ عِيسَى عِنْدَ اللَّهِ كَمَثَلِ آدَمَ خَلَقَهُ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ قَالَ
لَهُ كُنْ فَيَكُونُ
“Sesungguhnya
perumpamaan Isa di sisi Allah adalah semisal Adam. Allah menciptakan-Nya dari
tanah, kemudian berfirman kepadanya, ‘Jadilah’ maka jadilah dia” (QS. Ali Imran :
59)
Ayat ini secara explisit
merupakan bantahan terhadap para pengagum Isa as yang menilainya sebagai anak
Tuhan, karena beliau tidak lahir melalui seorang ayah, melainkan melalui
kalimat Allah. Tetapi secara implisit menjelaskan kejadian Isa as yang semisal dengan kejadian Adam
as yaitu diciptakan dari tanah melalui proses yang mudah dan cepat sesuai dengan
kehendak Allah SWT. Kata ‘kun’ pada ayat di atas tidaklah benar bila dijadikan
dasar bahwa Adam as diciptakan dalam sekejap tanpa proses sebagaimana yang
difahami kebanyakan orang. Karena disamping dalam hal mencipta Allah SWT, tidak memerlukan sesuatu apapun
untuk mewujudkan apa yang dikehendaki-Nya, termasuk tidak perlu mengucapkan
‘kun’. Juga karena pada ayat yang lain Allah SWT melukiskan, bahwa Dia
menciptakan Adam as dari tanah, dan setelah Dia sempurnakan kejadiannya, Dia
tiupkan ruh ciptaan-Nya.
فَإِذَا
سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيهِ مِنْ رُوحِي فَقَعُوا لَهُ سَاجِدِين
“Maka apabila
Aku telah menyempurnakan kejadiannya (Adam), dan telah meniupkan ke dalamnya
ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud”
(QS. al-Hijr
:29)
Maka kata ‘kun’
pada ayat di atas, disebutkan hanyalah sekedar untuk menggambarkan kemudahan
dan kecepatan wujud apa yang dikehendaki Allah SWT. Dan ayat tersebut, sama
sekali tidak menjelaskan apa yang terjadi dan proses apa yang dilalui antara
penciptaan dari tanah dengan penghembusan ruh ciptaan-Nya. Jika diibaratkan
penciptaan dari tanah sama dengan A, dan penghembusan ruh ciptaan-Nya sama
dengan Z, maka antara A dan Z tidak dijelaskan baik materi maupun waktunya.
Melalui ayat QS. Ali Imran : 59
pula, Allah SWT membantah keyakinan umat Nasrani yang bersikeras mengatakan
bahwa tidak mungkin Isa as lahir tanpa memiliki seorang ayah. Karena Dzat yang
mampu menciptakan Adam as tanpa seorang ayah dan seorang ibu, tentu saja lebih
mampu untuk menciptakan Isa as dengan hanya dari seorang ibu. Dr. G.C. Goeringer, Direktur Kursus dan Profesor Kepala Embriologi
Kedokteran di Departemen Biologi Sel Sekolah
Kedokteran Universitas Georgetown Washington D.C mengatakan bahwa sains
modern saat ini membuktikan bahwa banyak binatang dan makhluk hidup di dunia
ini yang terlahir dan berkembang biak tanpa proses pembuahan pihak laki-laki
(pejantan) dari spesiesnya. Sebagai contoh, seekor lebah jantan tidak
lebih dari sekedar telur yang belum dibuahi, sedangkan telur yang telah dibuahi
(oleh pejantannya) berkembang menjadi lebah betina (ratu). Selain itu,
lebah-lebah jantan tercipta dari telur-telur ratu lebah yang tidak dibuahi oleh
pejantannya. Ada banyak sekali contoh yang demikian di dunia hewan. Selain itu,
manusia saat ini memiliki sarana sains untuk merangsang telur dari beberapa
organisme sehingga telur-telur ini berkembang tanpa pembuahan dari pejantannya.
Lebih lanjut Goeringer menyatakan: Dalam
beberapa contoh pendekatan, telur-telur yang tidak dibuahi dari beberapa spesies
amfibi dan mamalia tingkat rendah dapat diaktifkan secara mekanik
(seperti penusukan dengan sebuah jarum), secara fisik (seperti kejutan panas),
atau secara kimia dengan pencampuran dari beberapa substansi kimia yang
berbeda, dan berlanjut ke tahap perkembangan. Dalam beberapa spesies,
tipe perkembangan secara parthenogenetic seperti ini adalah alami.[4]
Selanjutnya kejadian
generasi manusia setelah Adam as, penciptaannya diisyaratkan dalam ayat :
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ
وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاء
“Hai sekalian
manusia, bertakwalah kepada Tuhan kamu yang telah menciptakan kamu dari diri
yang satu, dan menciptakan darinya pasangannya. Allah mengembang biakkan dari
keduanya laki-laki yang banyak dan perempuan” (QS. an-Nisa :
1)
Para Mufassir
terdahulu memahami kata ‘nafsin wahidah’ (diri yang satu) pada
ayat ini dalam arti Adam as. Akan tetapi para Mufassir kontemporer
seperti al-Qasimi, Syekh Muhammad Abduh memaknainya dalam arti jenis
manusia lelaki dan wanita. Sehingga ayat ini kandungannya sama dengan
firman Allah SWT :
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ
شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا
“Hai sekalian
manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya
kamu saling mengenal” (QS. al-Hujurat : 13)
Maka kedua ayat di atas pada prinsipnya berbicara sama yaitu tentang asal kejadian
manusia dari seorang ayah dan ibu, yakni
sperma ayah dan ovum ibu. Hanya tekanannya saja yang berbeda.
Jika ayat pertama dalam konteks menjelaskan banyak dan berkembang biaknya
manusia dari seorang ayah dan ibu, maka ayat kedua konteksnya adalah persamaan
hakikat kemanusian orang perorang, dimana setiap orang walau berbeda-beda ayah
dan ibunya, tetapi unsur dan proses kejadian mereka sama. Sehingga tidak
dibenarkan seseorang menghina atau merendahkan orang lain.
Dengan memaknai
kata ‘nafsin wahidah’ dalam arti diri (jenis) yang satu, Thabathaba’i
dalam tafsirnya menyatakan bahwa ayat tersebut juga memberi penegasan bahwa
pasangan (isteri Adam) yang ditunjuk kata ‘zaujaha’ diciptakan
dari jenis yang sama dengan Adam yakni dari tanah dan hembusan ruh Ilahi. Menurutnya
sedikitpun ayat itu tidak mendukung faham yang beranggapan bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam sebagaimana
yang difahami para Mufassir terdahulu.[5]
Akan halnya
hadis riwayat Abi Hazm dari Abi Hurairah ra yang kerap digunakan
untuk memperkuat faham itu, selain tertolak kesahihannya sehingga tidak dapat digunakan
hujjah (argumentasi), juga – sebagaimana mayoritas ulama kontemporer mengatakan
- hadis tersebut tidaklah tepat jika difahami dalam pengertian harfiah,
melainkan harus difahami dalam pengertian metafora. Maka konteksnya
dalam rangka mengingatkan kepada kaum laki-laki agar menghadapi perempuan
dengan bijaksana, mengingat ada sifat dan kodrat bawaan mereka yang berbeda. Tidak
ada seorangpun yang mampu mengubah kodrat bawaan itu. Kalaupun ada yang
berusaha, maka akibatnya akan fatal seperti upaya meluruskan tulang rusuk yang
bengkok.[6]
Walhasil makhluk
yang bernama manusia, dari mulai manusia pertama Adam as dan istrinya Hawa,
juga Isa as, serta generasi manusia setelahnya berasal dari bahan baku yang
sama yaitu dari unsur tanah dan hembusan ruh Ilahi. Hanya model penciptaannya
saja yang berbeda. Penciptaan manusia – sebagaimana disimpulkan Quraish
Shihab – terdiri dari empat model penciptaan. Model pertama menciptakan
dengan tanpa ayah dan ibu, yaitu Adam as. Kedua menciptakan setelah
disampingnya ada lelaki, yaitu isteri Adam as. Model ketiga menciptakan hanya
dengan ibu tanpa ada ayah, yaitu Isa as.
Dan yang terakhir menciptakan melalui pertemuan lelaki dan perempuan yaitu
generasi manusia setelah Adam as.[7]
Ali Syari’ati[8] menafsirkan
tanah - sebagai salah satu unsur kejadian manusia - merupakan simbol kerendahan
dan kenistaan, sedang unsur yang lain yaitu ruh Allah adalah simbol kemuliaan
dan kesucian tertinggi. Yusuf Qardawi
- sebagaimana dikutip Jalaluddin Rahmat[9] –
membahasakan manusia adalah gabungan kekuatan tanah dan hembusan ruh Ilahi (baina
qabdhat al-thin wa nafkhat al-ruh). Manusia adalah zat bidimensional
(bersifat ganda) terdiri atas sifat material (jasmani) dan sifat spiritual
(ruhani). Sifat materialnya cenderung dan menarik manusia ke arah kerendahan,
dan sifat spiritualnya mengarahkan dirinya menaiki puncak setinggi-tingginya.
Satu hal yang menarik adalah kedua anasir yang bertentangan itu harus
selalu berada dalam keseimbangan. Tidak boleh seseorang mengurangi hak-hak
tubuh untuk memenuhi hak ruh. Begitu pula tidak boleh ia mengurangi hak-hak ruh
untuk memenuhi hak tubuh.
Fase penciptaan manusia.
Proses penciptaan manusia dijelaskan
Allah SWT dalam beberapa firman-Nya melalui berbagai fase atau tahapan. Salah
satunya pada QS. Al-Mu’minun : 12-14 :
وَلَقَدْ
خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنْ سُلَالَةٍ مِنْ طِينٍ * ثُمَّ جَعَلْنَاهُ نُطْفَةً فِي
قَرَارٍ مَكِينٍ * ثُمَّ
خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا
الْمُضْغَةَ عِظَامًا فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ لَحْمًا ثُمَّ أَنْشَأْنَاهُ خَلْقًا
آخَرَ فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari saripati (berasal) dari tanah. Kemudian
Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang
kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu
segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu
Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus
dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain.
Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.”
(QS. al-Mu’minun : 12-14)
Terdapat munasabah (keserasian)
dalam penempatan rangkaian ayat ini yang
mengemukakan tujuh fase proses penciptaan manusia, setelah rangkaian
ayat sebelumnya yang menguraikan tujuh macam sifat orang-orang mukmin.
Seakan-akan kedua rangkaian ayat ini menyatakan kepada kita : “Wahai manusia,
engkau berhasil keluar dan berada di pentas bumi ini setelah melalui tujuh fase,
maka engkaupun perlu menghiasi diri dengan tujuh hal agar berhasil pula dalam
kehidupan sesudah kehidupan dunia ini”.
Sungguh menakjubkan fase-fase penciptaan
manusia yang dijelaskan secara detail oleh rangkaian ayat di atas, karena
ternyata fase-fase yang dijelaskannya terbukti sejalan dengan penemuan ilmiah
embriologi modern dewasa ini. Fase-fase itu adalah :
- ‘Sulalah min thin’ (saripati tanah).
Saripati tanah yang dimaksud – sebagaimana pendapat
Thahir Ibn ‘Asyur – adalah zat yang diproduksi oleh alat pencernaan yang
berasal dari bahan makanan (baik tumbuhan maupun hewan) yang bersumber dari
tanah, yang selanjutnya menjadi darah, kemudian berproses hingga akhirnya
menjadi sperma ketika terjadi hubungan sex.[10]
Pada ayat lain (QS. Al-Hajj : 5) fase ini disebutnya
fase ‘turab’ (tanah)[11].
Pada ayat inipun yang dimaksud tanah adalah asal-usul sperma yaitu zat makanan
yang berasal dari bahan makanan yang bersumber dari tanah. Karena itu Sayyid
Quthub mengomentari kata ‘turab’ dengan mengatakan :
“Manusia adalah putri bumi ini. Dari
tanahnya dia tumbuh berkembang, dari tanahnya dia berbentuk, dan dari tanahnya
pula dia hidup. Tidak terdapat satu unsurpun dalam jasmani manusia yang tidak
memiliki persamaan dengan unsur-unsur yang terdapat dalam bumi, kecuali rahasia
yang sangat halus itu yang ditiupkan Allah padanya dari ruh-Nya dan dengan ruh
itu itulah manusia berbeda dari unsur-unsur tanah itu, tetapi pada dasarnya
manusia berasal dari tanah. Makanan dan semua unsur jasmaninya berasal dari
tanah”[12]
- ‘Nuthfah’ (air mani).
Makna asal kata ‘nuthfah’ dalam bahasa Arab berarti
setetes yang dapat membasahi. Penggunaan kata ini sejalan dengan penemuan
ilmiah yang menginformasikan bahwa pancaran mani yang menyembur dari alat
kelamin pria yang mengandung sekitar dua ratus juta benih manusia, tetapi yang
berhasil bertemu dengan ovum wanita hanya satu. Itulah yang dimaksud dengan nuthfah.[13]
- ‘Alaqah’ (segumpal darah).
Segumpal darah adalah salah satu arti kata ‘alaqah
dari dua arti lainnya yaitu ‘sesuatu yang melayang’ dan ‘lintah’. Seorang ilmuwan terkenal dalam bidang anatomi
dan embriologi Prof. Keith Moore menyatakan bahwa ‘alaqah sebagai ‘sesuatu yang
melayang’ sesuai dengan apa yang bisa dilihat pada pengikatan embrio - selama
fase ini - pada rahim ibu. Dan ‘alaqah diartikan ‘segumpal darah’ atau
‘gumpalan darah yang membeku’ karena embrio selama fase ini berkembang melalui
saat-saat internal yang diketahui seperti pembentukan darah di pembuluh
tertutup sampai dengan putaran metabolis lengkap melalui plasenta
(ari-ari). Selama fase ini darah
ditangkap di dalam pembuluh tertutup sehingga embrio memperoleh
penampakan sebagai gumpalan darah beku. Sedang ‘alaqah diartikan
‘lintah’ oleh karena embrio selama fase ‘alaqah memperoleh penampakan
yang sangat mirip dengan lintah. Prof. Keith Moore menguji dengan membandingkan
lintah air yang masih segar dengan embrio pada fase ini dan beliau menemukan
kesamaan diantara keduanya. Ketiga deskripsi tersebut secara ajaib diberikan
hanya oleh sebuah kata dalam ayat al-Quran yaitu kata ‘alaqah.[14]
- ‘Mudghah’ (segumpal daging).
Mudhghah berasal dari kata madhagha yang berarti
mengunyah. Pada fase ini embrio disebut mudhghah karena bentuknya masih dalam
kadar yang kecil seukuran dengan sesuatu yang dikunyah.
- ‘Idzam (tulang atau kerangka).
Pada fase ini embrio mengalami perkembangan dari
bentuk sebelumnya yang hanya berupa segumpal daging hingga berbalut kerangka
atau tulang.
- Kisa al-‘idzam bil-lahm (penutupan tulang dengan daging atau otot).
Pengungkapan fase ini dengan kisa yang berarti
membungkus, dan lahm (daging) diibaratkan pakaian yang membungkus tulang,
selaras dengan kemajuan yang dicapai embriologi yang menyatakan bahwa sel-sel
tulang tercipta sebelum sel-sel daging, dan bahwa tidak terdeteksi adanya satu
sel daging sebelum terlihat sel tulang[15].
- Insya (mewujudkan makhluk lain).
Fase ini mengisyaratkan bahwa ada sesuatu yang
dianugerahkan kepada manusia yang menjadikannya berbeda dengan makhluk-makhluk
lain. Sesuatu itu adalah ruh ciptaannya yang menjadikan manusia memiliki
potensi yang sangat besar sehingga dapat melanjutkan evolusinya hingga mencapai
kesempurnaan makhluk.
Terminologi manusia.
Di dalam al-Quran terdapat tiga istilah
kunci (key term) yang meskipun mengacu pada makna pokok manusia, tetapi
memiliki makna signifikan yang berbeda-beda. Ketiga istilah kunci itu adalah Basyar,
Insan, dan al-Nas. Agar terhindak dari kerancuan
semantik, perlu difahami dalam konteks apa manusia disebut basyar, dan dalam
konteks apa manusia disebut insan, serta dalam konteks apa pula manusia disebut
al-nas.
- Basyar.
Kata basyar disebut dalam al-Quran 35 kali
dikaitkan dengan manusia dan 25 kali dihubungkan dengan nabi-rasul. Kata basyar
pada keseluruhan ayat tersebut memberikan referensi kepada manusia sebagai
makhluk biologis. Salah satunya pada surah Yusuf : 31 :
فَلَمَّا
رَأَيْنَهُ أَكْبَرْنَهُ وَقَطَّعْنَ أَيْدِيَهُنَّ وَقُلْنَ حَاشَ لِلَّهِ مَا
هَذَا بَشَرًا إِنْ هَذَا إِلَّا مَلَكٌ كَرِيم
“Maka tatkala wanita-wanita itu melihatnya,
mereka kagum kepadanya (keelokan rupanya) dan mereka melukai (jari) tangannya dan
berkata: Maha sempurna Allah, ini bukanlah
manusia (basyar). Sesungguhnya ini tidak lain hanyalah malaikat yang
mulia ”
(QS.Yusuf : 31)
Ayat ini menceritakan wanita-wanita
pembesar Mesir yang diundang Zulaikha dalam suatu pertemuan yang takjub ketika melihat
ketampanan Yusuf as. Konteks ayat ini tidak memandang Yusuf as dari segi
moralitas atau intelektualitasnya, melainkan pada perawakannya yang tampan dan
penampilannya yang mempesona yang tidak lain adalah masalah biologis.
Pada ayat lain juga manusia disebut
dengan kata basyar dalam konteks sebagai makhluk biologis yaitu pada ayat yang
menceritakan jawaban Maryam (perawan) kepada malaikat yang datang padanya
membawa pesan Tuhan bahwa ia akan dikaruniai seorang anak :
قَالَتْ
رَبِّ أَنَّى يَكُونُ لِي وَلَدٌ وَلَمْ يَمْسَسْنِي بَشَر
“Maryam berkata: Tuhanku, bagaimana mungkin
aku mempunyai anak padahal aku tidak pernah disentuh manusia (basyar) ” (QS.Ali Imran : 47)
Maryam berkata demikian sebab dia tahu
bahwa yang dapat menyentuh (hubungan seksual) itu hanya manusia dalam arti
makhluk biologis, dan anak adalah buah dari hubungan seksual antara laki-laki
dan perempuan . Nalar Maryam tidak menerima, bagaimana mungkin dia akan punya
anak padahal dia tidak pernah berhubungan dengan laki-laki.
Penolakan orang-orang kafir untuk
beriman, juga karena pandangan mereka terhadap seorang rasul yang hanya pada
sisi biologisnya saja. Yakni sebagai
manusia yang sama seperti mereka yang makan, minum, jalan-jalan di pasar, dan
melakukan aktifitas lainnya[16].
Mereka tidak mempertimbangkan aspek lain dari seorang rasul seperti kapasitas,
moralitas, kredibilitas kepribadiannya, dan akseptabilitas di mata
umatnya. Karena itu Allah SWT menyuruh Rasulullah saw untuk menegaskan bahwa
secara biologis ia memang seperti manusia biasa, tetapi memiliki perbedaan dari
yang lain yaitu penunjukan langsung dari Tuhan untuk menyampaikan risalah-Nya.
Dan dari sisi inilah Rasulullah menjadi manusia luar biasa.
قُلْ
إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَي
“Katakanlah
(Muhammad kepada mereka bahwa) aku ini manusia biasa (basyar) seperti kamu.
Hanya saja aku diberi wahyu” (QS.Al-Kahfi : 110)[17]
Beberapa ayat di
atas dengan jelas menegaskan bahwa konsep basyar selalu dihubungkan
dengan sifat-sifat ketubuhan (biologis) manusia yang mempunyai bentuk/ postur
tubuh, mengalami pertumbuhan dan perkembangan jasmani, makan, minum, melakukan
hubungan seksual, bercinta, berjalan-jalan di pasar, dan lain-lain. Dengan kata
lain, basyar dipakai untuk menunjuk dimensi alamiah yang menjadi
ciri pokok manusia pada umumnya.
- Al-Insan.
Kata al-insan disebut sebanyak 65
kali dalam al-Quran. Hampir semua ayat yang menyebut manusia dengan kata insan,
konteksnya selalu menampilkan manusia sebagai makhluk istimewa, secara moral maupun
spiritual. Keistimewaan itu tidak
dimiliki oleh makhluk lain. Jalaludin Rahmat memberi penjabaran al-insan
secara luas pada tiga kategori. Pertama, al-insan dihubungkan dengan
keistimewaan manusia sebagai khalifah dan pemikul amanah. Kedua, al-insan dikaitkan
dengan predisposisi negatif yang inheren dan laten pada
diri manusia. Ketiga, al-insan disebut dalam hubungannya dengan proses
penciptaan manusia. Kecuali kategori ketiga, semua konteks al-insan menunjuk
pada sifat-sifat psikologis atau spiritual.
Kategori pertama dapat difahami melalui
empat penjelasan sebagai berikut :
1.
Manusia
dipandang sebagai makhluk unggulan atau puncak penciptaan Tuhan. Keunggulannya
terletak pada wujud kejadiannya sebagai makhluk yang diciptakan dengan
sebaik-baik penciptaan[18].
Manusia juga disebut sebagai makhluk yang dipilih Tuhan[19]
untuk mengemban tugas kekhalifahan di muka bumi.[20]
2.
Manusia
adalah satu-satunya makhluk yang dipercaya Tuhan untuk mengemban amanah[21],
suatu beban sekaligus tanggung jawabnya sebagai makhluk yang dipercaya dan
diberi mandat untuk mengelola bumi. Menurut Fazlurrahman amanah yang
dimaksud terkait dengan fungsi kreatif manusia untuk menemukan hukum alam,
menguasainya (dalam bahasa al-Quran mengetahui nama-nama semua benda),
dan kemudian menggunakannya dengan insiatif moral untuk menciptakan tatanan
dunia yang lebih baik[22].
Sedangkan menurut Thabathaba’i amanah dimaknai sebagai predisposisi positif
(isti’dad) untuk beriman dan mentaati Allah. Dengan kata lain manusia
didisposisikan sebagai pemikul al-wilayah al-Ilahiyah[23].
Amanah inilah yang dalam ayat-ayat lain disebut sebagai perjanjian primordial
atau perenial. Secara metaforis perjanjian itu digambarkan dalam
QS. Al-A’raf : 172 :
وَإِذْ أَخَذَ
رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى
أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا
“Dan (ingatlah)
ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belulang) anak cucu Adam
keturunan mereka, dan Allah mengambil kesaksian terhadap ruh mereka (seraya
berfirman) : Bukankah Aku ini Tuhanmu?. Kami bersaksi”
(QS.al-A’raf : 172)
3.
Merupakan
konsekuensi dari tugas berat sebagai khalifah dan pemikul amanah, manusia
dibekali dengan akal kreatif yang melahirkan nalar kreatif sehingga manusia
memiliki kemampuan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan[24].
Karena itu berkali-kali kata al-insan dihubungkan dengan perintah melakukan
nadzar (pengamatan, perenungan, pemikiran, analisa) dalam rangka
menunjukkan kualitas pemikiran rasional
dan kesadaran khusus yang dimilikinya[25].
Tugas
kekhalifahan dan amanah juga membawa konsekuensi bahwa al-insan dibebani atau
dihubungkan dengan konsep tanggung jawab[26]
untuk melakukan yang terbaik. Manusia diwasiatkan agar berbuat baik[27]
karena setiap amal perbuatannya dicatat dengan cermat dan mendapat balasan
setimpal[28]. Dan dalam rangka ini,
manusia diingatkan dengan sejumlah tantangan karena insanlah yang dimusuhi
syetan[29]
dan ditentukan nasibnya di hari kiamat[30].
4.
Dalam
mengabdi kepada Allah manusia (al-insan) sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan
kondisi psikologisnya. Jika ditimpa musibah ia selalu menyebut nama Allah.
Sebaliknya jika mendapat keberuntungan dan kesuksesan hidup cenderung sombong,
takabbur, dan musyrik.[31]
Kategori kedua al-insan dikaitkan
dengan predisposisi negatif pada dirinya, dijelaskan dalam al-Quran
bahwa manusia itu cenderung berbuat zalim dan kufur, tergesa-gesa, bakhil,
bodoh, banyak membantah dan suka berdebat tentang hal-hal yang sepele
sekalipun, resah gelisah dan enggan membantu orang lain, ditakdirkan untuk
bersusah payah dan menderita, ingkar dan enggan berterima kasih kepada Tuhan,
suka berbuat dosa dan meragukan hari akhirat[32].
Sifat-sifat manusia pada pada kategori
kedua ini bila dihubungkan dengan sifat-sifat manusia pada kategori pertama, memberi
kesimpulan bahwa manusia adalah makhluk yang paradoksal, yang berjuang
mengatasi konflik dan kekuatan yang saling bertentangan ; tarik menarik antara
mengikuti fitrah (memikul amanah dan menjadi khalifah) dan mengikuti nafsu
negatif dan merusak. Kedua kekuatan itu digambarkan dalam asal usul kejadian
manusia yang dalam bahasa Yusuf Qardawi baina qabdhat al-tin wa nafkhat
al-ruh.
- Al-Nas.
Konsep al-Nas mengacu pada manusia
sebagi makhluk sosial. Manusia dalam arti al-nas paling banyak disebut al-Quran
yaitu sebanyak 240 kali. Salah satunya
adalah :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا
خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوباً وَقَبَائِلَ
لِتَعَارَفُوا
“Wahai manusia
sesungguhnya Kami ciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal
mengenal”
(QS.al-Hujurat :
13)
Menariknya dalam mengungkapkan manusia
sebagai makhluk sosial, al-Quran tidak pernah melakukan generalisasi,
melainkan ditunjukkan dengan dua model pengungkapan :
- Dengan menunjukkan kelompok-kelompok sosial dengan disertai karakteristik masing-masing yang berbeda satu sama lain. Ayat-ayatnya biasanya menggunakan ungkapan wa min al-nas (dan diantara manusia). Jika diperhatikan ayat-ayat yang menggunakan ungkapan ini ditemukan petunjuk bahwa ada kelompok manusia (tidak seluruhnya) yang mengaku beriman padahal sesungguhnya tidak beriman[33], ada sebagian manusia mengambil sesembahan selain Allah[34]. Juga didapat informasi bahwa manusia secara sosial cenderung memikirkan kehidupan dunia[35], berdebat dengan Allah tanpa ilmu, petunjuk dan kitab Allah[36], yang menyembah Allah dengan iman yang lemah[37].
- Dengan mengelompokkan manusia berdasarkan mayoritas yang umumnya menggunakan ungkapan aktsaran-nas (sebagian besar manusia). Memperhatikan ungkapan ini ditemukan petunjuk dari al-Quran bahwa sebagian besar (mayoritas) manusia mempunyai kualitas rendah, dari sisi ilmu maupun iman. Hal ini dapat dilihat dari ayat-ayatnya yang menyatakan bahwa kebanyakan manusia tidak berilmu, tidak bersyukur, tidak beriman, fasiq, melalaikan ayat-ayat Allah, kufur, dan harus menanggung azab. Kesimpulan itu dipertegas dengan ayat-ayat lain yang menunjukkan bahwa sangat sedikit kelompok manusia yang beriman, yang berilmu dan dapat mengambil pelajaran, yang mau bersyukur atas nikmat Allah.
Demikian banyaknya penyebutan kata
al-nas dalam al-Quran – jika dikaitkan dengan al-Quran sebagai petunjuk –
menunjukkan bahwa sebagian besar bimbingan Tuhan diperuntukkan bagi manusia sebagai makhluk
sosial. Sebagai contoh adalah masalah perkawinan. Dalam al-Quran Tuhan tidak
mengatur tata cara hubungan seksual, karena sebagai makhluk biologis semua
manusia betapapun primitifnya bisa melakukannya. Justru yang dipandang perlu
untuk diatur Tuhan adalah hubungan sosial pasca perkawinan meliputi hak,
kewajiban, tanggung jawab suami istri dalam rumah tangga dan hubungan yang
terjadi setelah berkeluarga mencakup pendidikan anak, kekerabatan, warisan dan
masalah yang berkaitan dengan kekayaan. Perlunya pengaturan karena pada
aspek-aspek sosial manusia sering kelewat batas dan tak terkendali.
Peran dan tanggung jawab manusia.
Dengan berbagai macam kedudukannya baik
sebagai makhluk biologis, makhluk istimewa (bernalar, pembawa amanah,
bertanggung jawab), dan makhluk sosial, manusia diberi dua peran sekaligus
dituntut bertanggung jawab dalam menjalankan perannya yaitu sebagai khalifatullah
dan sebagai ‘abdullah. Peran sebagai khalifatullah
digambarkan QS. Al-Baqarah : 30
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ
إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَة
“Ingatlah ketika
Tuhanmu berfirman kepada para malaikat : Sesungguhnya Aku hendak menjadikan
khalifah di muka bumi”
(QS.al-Baqarah :
30)
sedang
peran sebagai ‘abdullah dinyatakan dalam QS. Al-Dzariyat : 56
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ
إِلَّا لِيَعْبُدُون
“Dan Aku tidak
menciptakan jin dan manusia melainkan agar beribadah kepada-Ku”
(QS.al-Dzariyat
: 56)
Yang penting untuk dicatat adalah peran
manusia sebagai khalifatullah dan sebagai ‘abdullah tidak bisa lepas dari realitas kedudukan manusia
sebagai makhluk biologis, makhluk istimewa dan makhluk sosial[38]. Diantara
contohnaya adalah : Manusia diperintahkan untuk mengerjakan shalat dan hukum
shalat adalah berdiri. Tetapi pada saat manusia mengalami sakit parah
diperbolehkan melaksanakan shalat dengan duduk atau berbaring. Artinya manusia
diberi dispensasi karena masalah sakit adalah persoalan biologis manusia.
Contoh lain dalam keadaan perjalanan jauh seseorang boleh men-jama’ dan
meng-qashar shalat. Begitupun wanita menyusui, orang yang lanjut usia
diperbolehkan untuk tidak berpuasa, dan lain sebagainya. Hal yang sama berlaku
pada kedudukan manusia sebagai makhluk sosial. Contohnya nabi Muhammad saw yang
biasanya shalat khusyu’ dan zikirnya panjang, berulangkali mempercepat
shalatnya gara-gara ada tamu yang menunggu. Nabi juga mengingatkan para imam
tidak memperpanjang shalat dengan pertimbangan sosial pada makmumnya.
Wallahu a’lam.
*) Mahasiswa Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon
Daftar
Pustaka :
1.
Al-Quranul
Karim
2.
Membumikan
al-Quran, Quraish Shihab, Mizan : 1994
3.
Teologi
Pendidikan, Mohammad Irfan-Mastuki HS, Friska Agung Insani : 2003
4.
Horison
Manusia, Mahmoud Rajabi, Al-Huda : 2006
5.
http:/kajian-agama,blogspot.com/
6.
Al-Mizan
fi Tafsir al-Quran, Muhammad Husein Thabathaba’i, al-Hauza al-Ilmiyah : tt.
7.
Sosiologi Islam, terjemahan dari On the
Sociology of Islam, Ali Syariati, Ananda I : 1982
8.
Islam
Alternatif, Jalaluddin Rahmat, Mizan : 1991
9.
at-Tahrir
wat-Tanwir, Thahir Ibn ‘Asyur
10.
Tafsir
fi Dzilalil-Quran, Sayyid Quthub,
11.
Tafsir
al-Misbah, Quraish Shihab, Lentera Hati : 2002
12.
The
Quranic Concept of God, The Universe and Man, Fazlurrahman, Mizan : 1990
13.
Al-Mizan
fi Tafsir al-Quran, Muhammad Husein Thabathaba’i, al-Hauza al-‘Ilmiyah
14.
Dinamika
Kehidupan Religius, Muhammad Tholchah Hasan, Listafariska : 2003
[1] Membumikan al-Quran,
Quraish Shihab, Mizan : 1994 , hal. 233
[2] Teologi Pendidikan,
Mohammad Irfan-Mastuki HS, Friska Agung Insani : 2003, hal. 55
[3] Horison Manusia, Mahmoud
Rajabi, Al-Huda : 2006, hal. 91
[4] http:/kajian-agama,blogspot.com/
[5] Al-Mizan fi Tafsir al-Quran,
Muhammad Husein Thabathaba’i, al-Hauza al-Ilmiyah : tt.
[6] Redaksi hadis tersebut berbunyi : “Saling berwasiatlah untuk
bebuat baik kepada perempuan. Karena
mereka itu diciptakan dari tulang rusuk. Dan sesungguhnya bagian tulang
rusuk yang paling bengkok adalah bagian atasnya. Kalau engkau berupaya
meluruskannya dia akan patah, dan kalau engkau membiarkannya dia tetap bengkok”.
(Shahih Bukhari 1 : 2680 dan Musnad Ahmad 2 : 496)
[7] Tafsir Al-Misbah, Quraish
Shihab, Lentera Hati : 2000, Vol. 2 Hal. 102.
[8] Sosiologi Islam,
terjemahan dari On the Sociology of Islam, Ali Syariati, Ananda I : 1982
[11] Bunyi ayat tersebut : “Hai manusia seandainya kamu dalam keraguan
tentang kebangkitan maka sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah”
[12] Tafsir fi Dzilalil-Quran,
Sayyid Quthub,
[13] Tafsir al-Misbah, Quraish
Shihab, Lentera Hati : 2002, vol 9 hal. 13 dan 167
[14] http :/kajian-agama,
blogspot.com/
[15] Tafsir fi Dzilalil Quran,
Sayyid Quthub,
[16] Lihat QS. Al-Ahzab : 33, QS.
Al-Furqan : 7 dan 20.
[17] Lihat juga QS. Fusshilat : 6
[19] QS. Thaha : 122
[20]
QS. Al-Baqarah : 30. Lihat juga QS. Al-An’am : 165
[22] The Quranic Concept of God,
The Universe and Man, Fazlurrahman, Mizan : 1990
[23] Al-Mizan fi Tafsir al-Quran,
Muhammad Husein Thabathaba’i, al-Hauza al-‘Ilmiyah : tt.
[24] QS. Al-‘Alaq : 4-5
[25] Lihat QS. An-Nazi’at : 35
(nadzar pada perbuatannya), QS. ‘Abasa : 24-36 (nadzar pada proses terbentuknya
makanan), QS. At-Thariq : 5 (nadzar pada proses penciptaannya)
[26] QS. Al-Qiyamah : 3 dan 36, QS.
Qaaf : 16
[27] QS. Al-‘Ankabut : 8, Q S. Luqman
: 14, QS. Al-Ahqaf : 15
[28] QS. An-Najm : 39
[29] QS. Al-Isra : 53
[30] QS. Al-Qiyamah : 10
[31] QS. Yunus : 12, QS. Hud : 9
[32] QS. Ibrahim : 34, QS. Al-Isra : 11, QS. Al-Isra : 100, QS.
Al-Ahzab : 72, QS. An-Nahl : 4, QS.al-Ma’arij
: 19, QS. Al-Insyiqaq : 6, QS. Al-‘Adiyat : 6, QS. Al-‘Alaq : 6, QS. Maryam : 66
[33] QS. Al-Baqarah : 8
[34] QS. Al-Baqarah : 165
[35] QS. Al-Baqarah : 200
[36] QS. Luqman : 20, QS. Al-Hajj :
3,8
[37] QS. Al-Hajj : 11, QS.
Al-‘Ankabut : 10
[38] Dinamika Kehidupan Religius,
Muhammad Tholchah Hasan, Listafariska : 2003
ليست هناك تعليقات:
إرسال تعليق