السبت، 23 فبراير 2013

MAKALAH : EARLY CHILDHOOD EDUCATION Antara Keniscayaan dan Kekhawatiran









Early Childhood : Golden Age

Secara kronologis (menurut urutan waktu), early childhood adalah masa perkembangan anak dari usia 1 atau 2 tahun hingga 5 atau 6 tahun. Masa ini merupakan masa emas ( golden age ) bagi anak. Artinya bila seseorang pada masa itu mendapat pendidikan yang tepat, maka ia memperoleh kesiapan belajar yang baik yang merupakan salah satu kunci utama bagi keberhasilan belajarnya pada jenjang berikutnya.
 Realitas itu didasarkan pada hasil penelitian Dr.Benyamin S.Bloom,  penulis Stability and Change in Human Characteristics yang mengemukakan bahwa sekitar 50 persen potensi inteligensi anak sudah terbentuk pada usia 4 tahun dan mencapai 80 persen saat berusia 8 tahun dari total kecerdasan yang akan dicapai pada usia 18 tahun.  Berbagai penelitian ilmiah juga menunjukkan bahwa usia 4 tahun pertama merupakan masa-masa paling menentukan dalam membangun kecerdasan anak dibandingkan masa-masa sesudahnya. Artinya, jika pada usia tersebut anak tidak mendapatkan rangsangan yang maksimal, maka potensi tumbuh kembang anak tidak akan teraktualisasikan secara optimal (Sutaryati, 2006:10). Dan masa emas yang demikian berpengaruh terhadap perkembangan anak pada masa-masa berikutnya itu, seumur hidupnya hanyalah datang sekali. Sehingga apabila terlewati, dimana pada masa itu anak tidak mendapat pendidikan yang tepat, maka anak akan kehilangan peluang untuk membangun pondasi untuk keberhasilannya di masa depan.
Maka tidak heran jika kini telah menjadi tren di mana-mana, para orang tua cenderung menyekolahkan putra-putrinya lebih awal (early childhood education). Setiap menjelang tahun ajaran baru, Play Group (PG) dan Taman Kanak-kanak (TK) ramai diserbu banyak orang, yang masing-masing terdorong oleh keinginan  untuk memberikan pendidikan yang terbaik bagi anak-anaknya meski harus merogoh kocek dalam-dalam.
Fenomena early childhood education ini di satu sisi menggembirakan, selain - mengingat kenyataan bahwa early childhood merupakan golden age - juga dalam konteks yang lebih luas dan jauh ke dapan, early childhood education dapat menjadi investasi strategis untuk membangun Sumber Daya Manusia yang unggul dan berkualitas, sehingga di kemudian hari bangsa ini mampu menjadi bangsa yang maju dan mandiri.
Namun ditengah menjamurnya lembaga-lembaga pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan usia dini, pada sisi lain fenomena ini menyimpan kekhawatiran. Kekhawatiran itu muncul akibat tidak sedikit lembaga penyelenggara pendidikan usia dini yang demi sebuah prestise menerapkan kurikulum yang terlalu berat, banyak mengatur dan mengontrol (seperti calistung misalnya) yang tidak lagi sesuai dengan keunikan dan tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini itu sendiri. Padahal Pemerintah sendiri telah memberikan batasan melalui UU Sisdiknas No.20/2003 yang menegaskan bahwa tujuan utama Pendidikan Anak Usia Dini adalah untuk membentuk anak Indonesia yang berkualitas, yaitu anak yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan tingkat perkembangannya sehingga memiliki kesiapan yang optimal di dalam memasuki pendidikan dasar serta mengarungi kehidupan di masa dewasa.
Betapa tidak mengkhawatirkan. John Cadlwell Holt dalam bukunya How Children Fail (1964), menyatakan :
“Manusia pada dasarnya adalah makhluk belajar dan senang belajar sehingga kita tidak perlu ditunjukkan bagaimana cara belajar. Yang membunuh kesenangan belajar adalah orang-orang yang berusaha menyelak, mengatur, atau mengontrolnya”.
Dimana dengan merdasarkan pada filosofi ini, maka kurikulum pendidikan usia dini yang terlalu berat, banyak mengatur dan mengontrol bisa membunuh kreativitas yang akan berakibat kontra produktif bagi si anak. Lain dari pada itu Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib KW yang digelari ‘pintu ilmu pengetahuan’[1] dalam konteks pendidikan anak menyatakan :
لاَعِبُوهُمْ سَبْعًا وَأَدِّبوُهُمْ سَبْعًا وَصَادِقُوهُمْ  سبعًا، ثم اتْركُوا لهم الحَبْلَ عَلى الْغَارِب
“Ajaklah mereka bermain pada usia 0-7 tahun, ajarilah mereka adab/disiplin pada usia 7-14 tahun, jadilah teman baik mereka pada usia 14-21 tahun, kemudian biarkan mereka mandiri ”.
Pernyataan Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib KW di atas menegaskan bahwa pendidikan anak memiliki 4 tahap yaitu; Tahap bermain (0-7 tahun), tahap penanaman disiplin (7-14 tahun), tahap kemitraan (14-21 tahun) dan tahap kemandirian (21 tahun ke atas).

Oleh karena itu, penerapan pendidikan anak usia dini (early childhood education) meniscayakan pemahaman terhadap model pembelajaran yang tepat yang bepijak pada pengenalan terhadap perkembangan anak usia dini secara cermat.

Perkembangan Anak Usia Dini

Terkait dengan penerapan model pembelajaran yang ideal, setidaknya ada tiga macam perkembangan anak usia dini yang mesti dicermati, yaitu perkembangan fisik, perkembangan kognitif, dan perkembangan psikososial.

1.        Perkembangan Fisik

Pada masa early childhood, telah tampak pada anak otot-otot tubuh yang  tumbuh yang memungkinkan dapat melakukan ketrampilan motorik halus maupun motorik kasar. Dan pada masa ini, gerakan anak lebih terkendali dan terorganisasi dalam pola-pola seperti menegakkan tubuh dalam posisi berdiri, tangan dapat terjuntai dengan santai, mampu melangkahkan kaki dengan menggerakkan tungkai dan kaki, yang memungkinkannya dapat merespon pelbagai situasi.

Pada masa ini juga, gigi anak mencapai 20 buah, otot dan sistem tulang terus tumbuh sejalan dengan usianya, dan kepala serta otaknya telah mencapai ukuran orang dewasa dimana jaringan sarafnya tumbuh mengikuti pertumbuhannya.

Secara khusus perkembangan motorik anak (proses tumbuh kembang kemampuan gerak) pada dasarnya  berkembang sejalan dengan kematangan saraf dan otot anak. Sehingga, setiap gerakan sesederhana apapun, adalah merupakan hasil pola interaksi yang kompleks dari berbagai bagian dan system dalam tubuh yang dikontrol oleh otak. Secara rinci tahapan-tahapan perkembangannya pada masa early childhood sebagai berikut:
Usia 2-3 tahun
Motorik Kasar
Motorik Halus
• melompat-lompat
• berjalan mundur dan jinjit
• menendang bola
• memanjat meja atau tempat tidur
• naik tangga dan lompat di anak 
  tangga terakhir
• berdiri dengan 1 kaki
• mencoret-coret dengan 1 tangan
• menggambar garis tak beraturan
• memegang pensil
• belajar menggunting
• mengancingkan baju
• memakai baju sendiri
Usia 3-4 tahun
Motorik Kasar
Motorik Halus
• melompat dengan 1 kaki
• berjalan menyusuri papan
• menangkap bola besar
• mengendarai sepeda
• berdiri dengan 1 kaki
• menggambar manusia
• mencuci tangan sendiri
• membentuk benda dari plastisin
• membuat garis lurus dan lingkaran 
  cukup rapi


Usia 4-5 tahun
Motorik Kasar
Motorik Halus
• menuruni tangga dengan cepat
• seimbang saat berjalan mundur
• melompati rintangan
• melempar dan menangkap bola
• melambungkan bola
• menggunting dengan cukup baik
• melipat amplop
• membawa gelas tanpa
  menumpahkan isinya
• memasukkan benang ke lubang 
  besar

Teori yang secara detail menjelaskan sistematika motorik yaitu Dynamic System Theory yang dikembangkan Thelen & Whiteneyeer mengungkapkan bahwa untuk membangun kemampuan motorik anak harus mempersepsikan sesuatu di lingkungannya yang memotivasinya untuk melakukan sesuatu, dan menggunakan persepsinya tersebut untuk bergerak. Kemampuan motorik mempresentasikan keinginan anak. Misalnya ketika anak melihat mainan yang beraneka ragam, anak memperspsikan dalam otaknya bahwa dia ingin memainkannya. Persepsi tersebut memotivasi anak untuk melakukan sesuatu yaitu bergerak untuk mengambilnya.

Teori tersebut juga menjelaskan bahwa kemampuan anak menciptakan motorik baru merupakan hasil dari banyak faktor, yaitu perkembangan sistem saraf, kemampuan fisik yang memungkinkannya untuk bergerak, keinginan anak yang memotivasinya untuk bergerak, dan lingkungan yang mendukung pemerolehan kemampuan motorik.

2.        Perkembangan Kognitif

Menurut Piaget (ahli psikologi kognitif), kondisi berpikir anak pada masa ini berada pada tahap pra-operasional. Pieget  - yang menganut teori konstruktivisme,  (yang menggambarkan perkembangan kognitif bukan sebagai  pemunculan pengetahuan dan kemampuan bawaan) – membagi perkembangan kognitif menjadi empat tahapan yaitu: Pertama; Tahap  Sensori Motorik untuk anak usia 0–2 tahun, Kedua; Tahap  Pra- Operasional untuk anak usia 2–7 tahun, Ketiga; Tahap  Operasional Konkrit untuk anak usia 7–11 tahun, dan Keempat; Tahap Operasional Formal untuk anak usia 11 tahun sampai anak berusia dewasa.

Menurutnya tahap pra-operasional  adalah tahap  dimana proses berpikir berpusat pada penguasaan simbol-simbol misalnya kata-kata yang mampu mengungkapkan pengalaman masa lalu. Karaktersistik utama kognitif pada tahap ini  adalah :

a.    Egocentrism (Egosentris)
Maksudnya anak tidak dapat melihat sesuatu dari pandangan orang lain. Misalnya saat anak berbicara satu sama lain dalam kelompok bermain, tidak terjadi saling interaksi dalam topik pembicaraan.

b.   Rigidity of Tough (Kekakuan berpikir)
Artinya kecenderungan berpikir anak hanya pada satu pandangan dan mengabaikan pandangan orang lain (centracion). Misalnya ketika melihat air di gelas yang tinggi dan gelas yang pendek lebar, meskipun isi air di kedua gelas itu sama, anak tetap akan mengatakan bahwa air di gelas tinggi lebih banyak, karena anak hanya memandang dari satu sisi (ketinggian gelas) dan mengabaikan yang lain (isi dalam gelas yang berbeda).
Centracion dan Egocentrism merefleksikan ketidakmampuan anak pada masa early childhood menghadapi beberapa segi dari situasi pada saat yang bersamaan dan menyebabkan pandangan yang bias. Anak pada masa ini dalam memandang suatu keadaan lebih memfokuskan pada tampilan keadaan ( focus on states atau focus on appearance), bukan pada isi atau kenyataan di balik tampilan itu. Anak pada masa ini juga berpikir hanya pada keadaan ‘sebelum’ dan ‘sesudah’ tidak pada proses perubahan dari sebelum dan sesudah melihat tampilan suatu keadaan.

c.    Semilogical Reasoning  (Penalaran yang semi logis).
Maksudnya anak pada usia ini, akibat dari cara berpikir yang egosentris dan kaku, dalam menjelaskan kejadian alamiah sehari-haei dengan melakukan personifikasi. Misalnya bulan mempunyai kaki, karena dapat berjalan mengikutinya.

d.   Limited Social Cognition  (Keterbatasan menangkap peristiwa sosial).
Artinya dalam berpikir cenderung bersifat kuantitas dan serba fisik, belum mampu berpikir pada tataran abstrak yang bersifat kualitas. Piaget membuktikan keterbatasan menangkap peristiwa sosial saat anak mengatakan si A yang memecahkan gelas satu lusin ketika sedang membantu ibunya, sangat bersalah, daripada si B yang memecahkan gelas satu buah ketika sedang mencuri minuman ibunya.

3.        Perkembangan Psikososial

Mengacu pada teori Erikson, pada masa early childhood, anak mencapai suatu tahap kemandirian tertentu (pada usia 2-3 tahun) apabila mendapat kesempatan dan memperoleh dorongan dari orang tua/ gurunya, untuk melakukan yang diinginkannya, dan sesuai dengan tempo dan caranya sendiri. Tetapi jika orang tua/ guru tidak sabar dan terlalu banyak melarang, maka anak akan memiliki sikap ragu-ragu terhadap lingkungannya. Tahap ini oleh Erikson disebut tahap Autonomy vs Shame and Doubt.

Selanjutnya pada usia 4-5 tahun, anak mencapai tahap Insiative vs Guilt yaitu kemampuan untuk melakukan partisipasi dalam berbagai kegiatan fisik dan mampu mengambil insiatif untuk suatu tindakan yang akan dilakukan. Pada tahap ini jika anak diberi kebebasan untuk menjelajah dan bereksperimen dalam lingkungannya, dan orang tua/ guru memberi waktu  untuk menjawab pertanyaan anak dan menuruti keinginannya, maka anak cenderung akan lebih banyak mempunyai insiatif dalam menghadapi masalah yang ada disekitarnya. Sebaliknya jika selalu dihalangi keinginannya dan pertanyaan atau apa saja yang dilakukannya dianggap tidak ada artinya, maka anak akan selalu merasa bersalah.

Early Childhood Education yang Ideal

Dengan mencermati perkembangan anak pada masa early childhood baik perkembangan fisik, kognitif maupun psikososial, maka pendidikan usia dini hendaknya tetap mengacu pada buah pikiran Froebel yang menyatakan bahwa pendidikan usia dini adalah konsep belajar melalui bermain baik bermain bebas, bermain dengan bimbingan, maupun bermain yang diarahkan yang berdasarkan minat anak, dimana anak sebagai pusatnya (child centered) yang menurut Mentessori anak-anak adalah individu-individu yang unik dan akan berkembang sesuai kemampuan mereka sendiri. Tugas orang tua dan orang dewasa sebagai pendidik/pengasuh adalah bagaimana memberi sarana dorongan belajar dan memfasilitasi ketika mereka telah siap untuk mempelajari sesuatu. Dan patut dicatat pula bahwa tidak ada anak yang bodoh di dunia ini. Yang ada hanyalah ketertarikan dan minat mereka yang beraneka ragam. Anak-anak mempunyai kecerdasan dan bakat yang berbeda-beda, tugas kita hanyalah memfasilitasi mereka sesuai perkembangan yang mereka butuhkan.

Karenanya untuk menuju pada early childhood education yang ideal, perlu diperhatikan prinsip-prinsip berikut :

1.      Pendidikan usia dini merupakan salah satu bentuk awal pendidikan sekolah (prasekolah). Untuk itu pendidikan usia dini perlu menciptakan situasi pendidikan yang dapat memberikan rasa aman dan menyenangkan.
2.      Masing-masing anak perlu mendapat perhatian yang bersifat individual sesuai dengan kebutuhan anak usia prasekolah.
3.      Perkembangan adalah hasil proses kematangan dan belajar.
4.      Kegiatan belajar di pendidikan usia dini adalah pembentukan perilaku melalui pembiasaan yang terwujud dalam kegiatan sehari-hari
5.      Sifat belajar di pendidikan usia dini merupakan pengembangan kemampuan yang telah diperoleh di rumah.
6.      Bermain merupakan cara yang paling baik untuk mengembangkan kemampuan dan kecerdasan anak didik.

Dan yang tidak boleh diabaikan adalah anak-anak mempunyai kecerdasan dan bakat yang berbeda-beda. Tugas orang tua/ guru adalah memfasilitasi mereka sesuai perkembangan yang mereka butuhkan. Kecerdasan yang berbeda-beda itu yang dikenal dengan kecerdasan multipel (multiple inteligensia) meliputi verbal-linguistic (kemampuan menguraikan pikiran dalam kalimat-kalimat, diskusi, tulisan), logical–mathematical (kemampuan menggunakan logika-matematik dalam memecahkan berbagai masalah), visual spatial (kemampuan berpikir tiga dimensi), bodily-kinesthetic (ketrampilan gerak, menari, olahraga), musical (kepekaan dan kemampuan berekspresi dengan bunyi, nada, melodi, irama), intrapersonal (kemampuan memahami dan mengendalikan diri sendiri), interpersonal (kemampuan memahami dan menyesuaikan diri dengan orang lain), naturalist (kemampuan memahami dan memanfaatkan lingkungan). 
Untuk menumbuh kembangkan kecerdasan-kecerdasan tersebut, anak pada usia dini (early childhood) memerlukan stimulan-stimulan sebagai berikut :



I
Verbal-linguistic (kecerdasan berbahasa verbal)

1. Diajak bercakap-cakap

2. Dibacakan buku cerita berulang-ulang

3. Menyanyi lagu anak-anak

4. Dirangsang untuk berbicara dan bercerita
II
Logical–mathematical (kecerdasan logika-matematik)

1. Menyusun balok

2. Merangkai

3. Menghitung mainan

4. Main Puzzle

5. Permainan komputer




III
Visual spatial (kecerdasan visual)

1. Mengamati gambar, foto

2. Belajar melipat dan menggambar

3. Bermain rumah-rumahan

4. Diajak permainan komputer
IV.
Bodily-kinesthetic (kecerdasan gerak tubuh)

1. Belajar berdiri satu kaki

2. Melatih jongkok, membungkuk

3. Belajar melompat, berlari, melempar, menangkap, menari

4. Mengajak anak pada olah raga permainan
V.
Musical (kecerdasan musikal)

1. Mengajak anak mendengarkan musik

2. Mengajak anak bernyanyi

3. Memainkan alat musik

4. Melatih anak mengikuti nada dan irama
VI
Interpersonal (kecerdasan emosi inter-personal)

1. Mengajak anak bermain bersama dengan anak yang lebih tua dan muda

2. Melatih anak untuk meminjamkan mainan

3. Mengajak anak untuk  bekerja sama membuat sesuatu
VII
Intrapersonal (kecerdasan emosi intra-personal)

1. Mengajak anak untuk menceritakan perasaannya

2. Melatih anak untuk belajar mengungkapkan keinginan

3. Mengajak ngobrol anak mengenai cita-cita
VIII
Naturalist (kecerdasan Naturalis)

1. Mengajak anak untuk memelihara tanaman di pot

2. Memelihara binatang

3. Wisata ke hutan, pantai, sungai dan gunung

4. Mengamati bulan, langit dan bintang

Wallahu a’lam bis-shawab












DAFTAR PUSTAKA

Erikson (1993) Miller P.H,(1993) Theories of Developmental Psychology, 3 th, Ed. New York : WH Freeman and Company.
Eti Nurhayati (2011) Psikologi Pendidikan Inovatif, Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Miller P.H,(1993) Theories of Developmental Psychology, 3 th, Ed. New York : WH Freeman and Company.
Rahmah, Elfi Yuliani (2005) Psikologi Perkembangan, Ponorogo : STAIN Press
Patmonodewo S (2000) Pendidikan Anak Prasekolah, Jakarta : Rineka Cipta
Sri Rahayu Haditono, (1994) Psikologi Perkembangan : Pengantar dalam berbagai bagiannya, Yogyakarta : UGM Press
Muslihatoen, R (1999) Metode Pengajaran di Taman Kanak-kanak, Jakarta : Rineka Cipta


Makalah ini merupakan tugas mata kuliah Psikologi Perkembangan pada Program Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon Program Studi Pendidikan Agama Islam.

[1] Dari sabda Rasulullah SAW : “Ana madinatul ‘ilmi wa ‘Aliyyun babuha” (Aku adalah kota ilmu pengetahuan, sedang Ali adalah pintu gerbang untuk memasukinya)

MUDZAKARAH : REINTERPRETASI MUSTAHIQ ZAKAT 2

Mudzakarah diselenggarakan Majelis Ulama Indonesia bekerjasama dengan BAZNAS Kabupaten Cirebon. Narasumber : Buya Yahya( Pengasuh PP. Al- Bahjah Cirebon), KH. Dr. Mukhlisin Muzarei,M.Ag.(Ketua BAZNAS Kabupaten Cirebon ), Dr. H. Atabik Lutfi,MA.(Ketua Prodi Syariah PPS. IAIN Syekh Nurjati Cirebon). Moderator H. Ja'far Musaddad. Dibawah ini link Videonya :

http://www.youtube.com/watch?v=YCZIzHcB23A

MUDZAKARAH : REINTERPRETASI MUSTAHIQ ZAKAT 1

Mudzakarah diselenggarakan Majelis Ulama Indonesia bekerjasama dengan BAZNAS Kabupaten Cirebon. Narasumber : Buya Yahya( Pengasuh PP. Al- Bahjah Cirebon), KH. Dr. Mukhlisin Muzarei,M.Ag.(Ketua BAZNAS Kabupaten Cirebon ), Dr. H. Atabik Lutfi,MA.(Ketua Prodi Syariah PPS. IAIN Syekh Nurjati Cirebon). Moderator H. Ja'far Musaddad. Dibawah ini link Videonya :
http://www.youtube.com/watch?v=Tfc4_ICzoUg

MUDZAKARAH : KOTROVERSI TAHLIL 2

Mudzakarah ini diselenggarakan di Majlis Assaqofah Megu Weru Cirebon, Pengasuh KH. Ahmad Bin Hasan , dengan menghadirkan Prof. Dr. Salim Bajri dan Buya Yahya. Dibawah ini Link Videonya :http://www.youtube.com/watch?v=Lfcl2_W_3rM

MUDZAKARAH : KONTROFERSI TAHLIL 1

Mudzakarah ini diselenggarakan di Majlis  Assaqofah Megu Weru Cirebon, Pengasuh KH. Ahmad Bin Hasan , dengan menghadirkan Prof. Dr. Salim Bajri dan Buya Yahya.Dibawah ini Link videonya :


MAKALAH : MANUSIA DALAM PERSPEKTIF AL-QURAN

*
Telaah ayat-ayat al-Quran yang berbicara tentang manusia, memberi gambaran  kontradiktif  menyangkut keberadaannya. Disatu sisi manusia dalam al-Quran sering mendapat pujian Tuhan. Seperti pernyataan terciptanya manusia dalam bentuk dan keadaan yang sebaik-baiknya, kemudian penegasan tentang dimuliakannya makhluk ini dibanding dengan kebanyakan makhluk-makhluk lain. Sedang di sisi lain sering pula manusia mendapat celaan Tuhan. Seperti bahwa ia amat aniaya dan ingkar nikmat, dan sangat banyak membantah  serta bersifat keluh kesah lagi kikir[1].

Gambaran kontradiktif itu bukanlah berarti bahwa ayat-ayat yang berbicara perihal manusia bertentangan satu sama lain, melainkan justru menandakan bahwa makhluk yang bernama manusia itu unik, makhluk yang serba dimensi, dan makhluk yang berada di antara predisposisi negatif dan positif[2]. Hal ini dapat difahami dengan mengkaji asal-usul kejadiannya, proses penciptaannya dan keragaman terminologinya dalam al-Quran.

Asal-usul kejadian manusia.

Generasi manusia yang ada sampai sekarang, dalah berasal dari manusia pertama yang bernama Adam dengan istrinya yang populer bernama Hawa[3]. Diantara ayat yang secara jelas menyatakan bahwa Adam dan Hawa adalah ayah dan ibu generasi manusia setelahnya, adalah:

يَا بَنِي آدَمَ لَا يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ كَمَا أَخْرَجَ أَبَوَيْكُمْ مِنَ الْجَنَّة

“Hai anak-anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syetan, sebagaimana ia telah mengeluarkan ibu-bapakmu dari surga” (QS. Al-A’raf : 27)

Adam sendiri diciptakan dari tanah sebagaimana diceritakan oleh Allah SWT dalam beberapa firman-Nya yang salah satunya pada firman berikut:

إِنَّ مَثَلَ عِيسَى عِنْدَ اللَّهِ كَمَثَلِ آدَمَ خَلَقَهُ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ قَالَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ
“Sesungguhnya perumpamaan Isa di sisi Allah adalah semisal Adam. Allah menciptakan-Nya dari tanah, kemudian berfirman kepadanya, ‘Jadilah’ maka jadilah dia” (QS. Ali Imran : 59)

Ayat ini secara explisit merupakan bantahan terhadap para pengagum Isa as yang menilainya sebagai anak Tuhan, karena beliau tidak lahir melalui seorang ayah, melainkan melalui kalimat Allah. Tetapi secara implisit menjelaskan  kejadian Isa as yang semisal dengan kejadian Adam as yaitu diciptakan dari tanah melalui proses yang mudah dan cepat sesuai dengan kehendak Allah SWT. Kata ‘kun’ pada ayat di atas tidaklah benar bila dijadikan dasar bahwa Adam as diciptakan dalam sekejap tanpa proses sebagaimana yang difahami kebanyakan orang. Karena disamping dalam hal mencipta  Allah SWT, tidak memerlukan sesuatu apapun untuk mewujudkan apa yang dikehendaki-Nya, termasuk tidak perlu mengucapkan ‘kun’. Juga karena pada ayat yang lain Allah SWT melukiskan, bahwa Dia menciptakan Adam as dari tanah, dan setelah Dia sempurnakan kejadiannya, Dia tiupkan ruh ciptaan-Nya.
فَإِذَا سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيهِ مِنْ رُوحِي فَقَعُوا لَهُ سَاجِدِين
“Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya (Adam), dan telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud”
(QS. al-Hijr :29)

Maka kata ‘kun’ pada ayat di atas, disebutkan hanyalah sekedar untuk menggambarkan kemudahan dan kecepatan wujud apa yang dikehendaki Allah SWT. Dan ayat tersebut, sama sekali tidak menjelaskan apa yang terjadi dan proses apa yang dilalui antara penciptaan dari tanah dengan penghembusan ruh ciptaan-Nya. Jika diibaratkan penciptaan dari tanah sama dengan A, dan penghembusan ruh ciptaan-Nya sama dengan Z, maka antara A dan Z tidak dijelaskan baik materi maupun waktunya.
Melalui ayat QS. Ali Imran : 59 pula, Allah SWT membantah keyakinan umat Nasrani yang bersikeras mengatakan bahwa tidak mungkin Isa as lahir tanpa memiliki seorang ayah. Karena Dzat yang mampu menciptakan Adam as tanpa seorang ayah dan seorang ibu, tentu saja lebih mampu untuk menciptakan Isa as dengan hanya dari seorang ibu. Dr. G.C. Goeringer,  Direktur Kursus dan Profesor Kepala Embriologi Kedokteran di Departemen Biologi Sel Sekolah  Kedokteran Universitas Georgetown Washington D.C mengatakan bahwa sains modern saat ini membuktikan bahwa banyak binatang dan makhluk hidup di dunia ini yang terlahir dan berkembang biak tanpa proses pembuahan pihak laki-laki (pejantan) dari spesiesnya. Sebagai contoh, seekor lebah jantan tidak lebih dari sekedar telur yang belum dibuahi, sedangkan telur yang telah dibuahi (oleh pejantannya) berkembang menjadi lebah betina (ratu). Selain itu, lebah-lebah jantan tercipta dari telur-telur ratu lebah yang tidak dibuahi oleh pejantannya. Ada banyak sekali contoh yang demikian di dunia hewan. Selain itu, manusia saat ini memiliki sarana sains untuk merangsang telur dari beberapa organisme sehingga telur-telur ini berkembang tanpa pembuahan dari pejantannya. Lebih lanjut  Goeringer menyatakan: Dalam beberapa contoh pendekatan, telur-telur yang tidak dibuahi dari beberapa spesies amfibi dan mamalia tingkat rendah dapat diaktifkan secara mekanik (seperti penusukan dengan sebuah jarum), secara fisik (seperti kejutan panas), atau secara kimia dengan pencampuran dari beberapa substansi kimia yang berbeda, dan berlanjut ke tahap perkembangan. Dalam beberapa spesies, tipe perkembangan secara parthenogenetic seperti ini adalah alami.[4] 
Selanjutnya kejadian generasi manusia setelah Adam as, penciptaannya diisyaratkan dalam ayat :

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاء
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan kamu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan menciptakan darinya pasangannya. Allah mengembang biakkan dari keduanya laki-laki yang banyak dan perempuan” (QS. an-Nisa : 1)

Para Mufassir terdahulu memahami kata ‘nafsin wahidah’ (diri yang satu) pada ayat ini dalam arti Adam as. Akan tetapi para Mufassir kontemporer seperti al-Qasimi, Syekh Muhammad Abduh memaknainya dalam arti jenis manusia lelaki dan wanita. Sehingga ayat ini kandungannya sama dengan firman Allah SWT :

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا
“Hai sekalian manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal” (QS. al-Hujurat : 13)

Maka kedua  ayat di atas pada prinsipnya  berbicara sama yaitu tentang asal kejadian manusia  dari seorang ayah dan ibu, yakni sperma ayah dan ovum ibu. Hanya tekanannya saja yang berbeda. Jika ayat pertama dalam konteks menjelaskan banyak dan berkembang biaknya manusia dari seorang ayah dan ibu, maka ayat kedua konteksnya adalah persamaan hakikat kemanusian orang perorang, dimana setiap orang walau berbeda-beda ayah dan ibunya, tetapi unsur dan proses kejadian mereka sama. Sehingga tidak dibenarkan seseorang menghina atau merendahkan orang lain.

Dengan memaknai kata ‘nafsin wahidah’ dalam arti diri (jenis) yang satu, Thabathaba’i dalam tafsirnya menyatakan bahwa ayat tersebut juga memberi penegasan bahwa pasangan (isteri Adam) yang ditunjuk kata ‘zaujaha’ diciptakan dari jenis yang sama dengan Adam yakni dari tanah dan hembusan ruh Ilahi. Menurutnya sedikitpun ayat itu tidak mendukung faham yang beranggapan bahwa Hawa  diciptakan dari tulang rusuk Adam sebagaimana yang difahami para Mufassir terdahulu.[5]

Akan halnya hadis riwayat Abi Hazm dari Abi Hurairah ra yang kerap digunakan untuk memperkuat faham itu, selain tertolak kesahihannya sehingga tidak dapat digunakan hujjah (argumentasi), juga – sebagaimana mayoritas ulama kontemporer mengatakan - hadis tersebut tidaklah tepat jika difahami dalam pengertian harfiah, melainkan harus difahami dalam pengertian metafora. Maka konteksnya dalam rangka mengingatkan kepada kaum laki-laki agar menghadapi perempuan dengan bijaksana, mengingat ada sifat dan kodrat bawaan mereka yang berbeda. Tidak ada seorangpun yang mampu mengubah kodrat bawaan itu. Kalaupun ada yang berusaha, maka akibatnya akan fatal seperti upaya meluruskan tulang rusuk yang bengkok.[6]

Walhasil makhluk yang bernama manusia, dari mulai manusia pertama Adam as dan istrinya Hawa, juga Isa as, serta generasi manusia setelahnya berasal dari bahan baku yang sama yaitu dari unsur tanah dan hembusan ruh Ilahi. Hanya model penciptaannya saja yang berbeda. Penciptaan manusia – sebagaimana disimpulkan Quraish Shihab – terdiri dari empat model penciptaan. Model pertama menciptakan dengan tanpa ayah dan ibu, yaitu Adam as. Kedua menciptakan setelah disampingnya ada lelaki, yaitu isteri Adam as. Model ketiga menciptakan hanya dengan  ibu tanpa ada ayah, yaitu Isa as. Dan yang terakhir menciptakan melalui pertemuan lelaki dan perempuan yaitu generasi manusia setelah Adam as.[7]

Ali Syari’ati[8] menafsirkan tanah - sebagai salah satu unsur kejadian manusia - merupakan simbol kerendahan dan kenistaan, sedang unsur yang lain yaitu ruh Allah adalah simbol kemuliaan dan kesucian tertinggi.  Yusuf Qardawi - sebagaimana dikutip Jalaluddin Rahmat[9] – membahasakan manusia adalah gabungan kekuatan tanah dan hembusan ruh Ilahi (baina qabdhat al-thin wa nafkhat al-ruh). Manusia adalah zat bidimensional (bersifat ganda) terdiri atas sifat material (jasmani) dan sifat spiritual (ruhani). Sifat materialnya cenderung dan menarik manusia ke arah kerendahan, dan sifat spiritualnya mengarahkan dirinya menaiki puncak setinggi-tingginya. Satu hal yang menarik adalah kedua anasir yang bertentangan itu harus selalu berada dalam keseimbangan. Tidak boleh seseorang mengurangi hak-hak tubuh untuk memenuhi hak ruh. Begitu pula tidak boleh ia mengurangi hak-hak ruh untuk memenuhi hak tubuh.

Fase penciptaan manusia.
Proses penciptaan manusia dijelaskan Allah SWT dalam beberapa firman-Nya melalui berbagai fase atau tahapan. Salah satunya pada QS. Al-Mu’minun : 12-14 :
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنْ سُلَالَةٍ مِنْ طِينٍ *    ثُمَّ جَعَلْنَاهُ نُطْفَةً فِي قَرَارٍ مَكِينٍ *    ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظَامًا فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ لَحْمًا ثُمَّ أَنْشَأْنَاهُ خَلْقًا آخَرَ فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari  saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.
 (QS. al-Mu’minun : 12-14)
Terdapat munasabah (keserasian) dalam penempatan rangkaian ayat ini yang  mengemukakan tujuh fase proses penciptaan manusia, setelah rangkaian ayat sebelumnya yang menguraikan tujuh macam sifat orang-orang mukmin. Seakan-akan kedua rangkaian ayat ini menyatakan kepada kita : “Wahai manusia, engkau berhasil keluar dan berada di pentas bumi ini setelah melalui tujuh fase, maka engkaupun perlu menghiasi diri dengan tujuh hal agar berhasil pula dalam kehidupan sesudah kehidupan dunia ini”.
Sungguh menakjubkan fase-fase penciptaan manusia yang dijelaskan secara detail oleh rangkaian ayat di atas, karena ternyata fase-fase yang dijelaskannya terbukti sejalan dengan penemuan ilmiah embriologi modern dewasa ini. Fase-fase itu adalah :
  1. ‘Sulalah min thin’ (saripati tanah).
Saripati tanah yang dimaksud – sebagaimana pendapat Thahir Ibn ‘Asyur – adalah zat yang diproduksi oleh alat pencernaan yang berasal dari bahan makanan (baik tumbuhan maupun hewan) yang bersumber dari tanah, yang selanjutnya menjadi darah, kemudian berproses hingga akhirnya menjadi sperma ketika terjadi hubungan sex.[10]
Pada ayat lain (QS. Al-Hajj : 5) fase ini disebutnya fase ‘turab’ (tanah)[11]. Pada ayat inipun yang dimaksud tanah adalah asal-usul sperma yaitu zat makanan yang berasal dari bahan makanan yang bersumber dari tanah. Karena itu Sayyid Quthub mengomentari kata ‘turab’ dengan mengatakan :
“Manusia adalah putri bumi ini. Dari tanahnya dia tumbuh berkembang, dari tanahnya dia berbentuk, dan dari tanahnya pula dia hidup. Tidak terdapat satu unsurpun dalam jasmani manusia yang tidak memiliki persamaan dengan unsur-unsur yang terdapat dalam bumi, kecuali rahasia yang sangat halus itu yang ditiupkan Allah padanya dari ruh-Nya dan dengan ruh itu itulah manusia berbeda dari unsur-unsur tanah itu, tetapi pada dasarnya manusia berasal dari tanah. Makanan dan semua unsur jasmaninya berasal dari tanah”[12]  
  1. ‘Nuthfah’ (air mani).
Makna asal kata ‘nuthfah’ dalam bahasa Arab berarti setetes yang dapat membasahi. Penggunaan kata ini sejalan dengan penemuan ilmiah yang menginformasikan bahwa pancaran mani yang menyembur dari alat kelamin pria yang mengandung sekitar dua ratus juta benih manusia, tetapi yang berhasil bertemu dengan ovum wanita hanya satu. Itulah yang dimaksud dengan nuthfah.[13]
  1. ‘Alaqah’ (segumpal darah).
Segumpal darah adalah salah satu arti kata ‘alaqah dari dua arti lainnya yaitu ‘sesuatu yang melayang’ dan ‘lintah’.  Seorang ilmuwan terkenal dalam bidang anatomi dan embriologi Prof. Keith Moore menyatakan bahwa ‘alaqah sebagai ‘sesuatu yang melayang’ sesuai dengan apa yang bisa dilihat pada pengikatan embrio - selama fase ini - pada rahim ibu. Dan ‘alaqah diartikan ‘segumpal darah’ atau ‘gumpalan darah yang membeku’ karena embrio selama fase ini berkembang melalui saat-saat internal yang diketahui seperti pembentukan darah di pembuluh tertutup sampai dengan putaran metabolis lengkap melalui plasenta (ari-ari). Selama fase ini darah  ditangkap di dalam pembuluh tertutup sehingga embrio memperoleh penampakan sebagai gumpalan darah beku. Sedang ‘alaqah diartikan ‘lintah’ oleh karena embrio selama fase ‘alaqah memperoleh penampakan yang sangat mirip dengan lintah. Prof. Keith Moore menguji dengan membandingkan lintah air yang masih segar dengan embrio pada fase ini dan beliau menemukan kesamaan diantara keduanya. Ketiga deskripsi tersebut secara ajaib diberikan hanya oleh sebuah kata dalam ayat al-Quran yaitu kata ‘alaqah.[14]
  1. ‘Mudghah’ (segumpal daging).
Mudhghah berasal dari kata madhagha yang berarti mengunyah. Pada fase ini embrio disebut mudhghah karena bentuknya masih dalam kadar yang kecil seukuran dengan sesuatu yang dikunyah.
  1. ‘Idzam (tulang atau kerangka).
Pada fase ini embrio mengalami perkembangan dari bentuk sebelumnya yang hanya berupa segumpal daging hingga berbalut kerangka atau tulang.
  1. Kisa al-‘idzam bil-lahm (penutupan tulang dengan daging atau otot).
Pengungkapan fase ini dengan kisa yang berarti membungkus, dan lahm (daging) diibaratkan pakaian yang membungkus tulang, selaras dengan kemajuan yang dicapai embriologi yang menyatakan bahwa sel-sel tulang tercipta sebelum sel-sel daging, dan bahwa tidak terdeteksi adanya satu sel daging sebelum terlihat sel tulang[15].
  1. Insya  (mewujudkan makhluk lain).
Fase ini mengisyaratkan bahwa ada sesuatu yang dianugerahkan kepada manusia yang menjadikannya berbeda dengan makhluk-makhluk lain. Sesuatu itu adalah ruh ciptaannya yang menjadikan manusia memiliki potensi yang sangat besar sehingga dapat melanjutkan evolusinya hingga mencapai kesempurnaan makhluk.
Terminologi manusia.
Di dalam al-Quran terdapat tiga istilah kunci (key term) yang meskipun mengacu pada makna pokok manusia, tetapi memiliki makna signifikan yang berbeda-beda. Ketiga istilah kunci itu adalah Basyar, Insan, dan al-Nas. Agar terhindak dari kerancuan semantik, perlu difahami dalam konteks apa manusia disebut basyar, dan dalam konteks apa manusia disebut insan, serta dalam konteks apa pula manusia disebut al-nas.
  1. Basyar.
Kata basyar disebut dalam al-Quran 35 kali dikaitkan dengan manusia dan 25 kali dihubungkan dengan nabi-rasul. Kata basyar pada keseluruhan ayat tersebut memberikan referensi kepada manusia sebagai makhluk biologis. Salah satunya pada surah Yusuf : 31 :
فَلَمَّا رَأَيْنَهُ أَكْبَرْنَهُ وَقَطَّعْنَ أَيْدِيَهُنَّ وَقُلْنَ حَاشَ لِلَّهِ مَا هَذَا بَشَرًا إِنْ هَذَا إِلَّا مَلَكٌ كَرِيم
 “Maka tatkala wanita-wanita itu melihatnya, mereka kagum kepadanya (keelokan rupanya) dan mereka melukai (jari) tangannya dan berkata: Maha sempurna Allah, ini bukanlah manusia (basyar). Sesungguhnya ini tidak lain hanyalah malaikat yang mulia 
 (QS.Yusuf : 31)
Ayat ini menceritakan wanita-wanita pembesar Mesir yang diundang Zulaikha dalam suatu pertemuan yang takjub ketika melihat ketampanan Yusuf as. Konteks ayat ini tidak memandang Yusuf as dari segi moralitas atau intelektualitasnya, melainkan pada perawakannya yang tampan dan penampilannya yang mempesona yang tidak lain adalah masalah biologis.
Pada ayat lain juga manusia disebut dengan kata basyar dalam konteks sebagai makhluk biologis yaitu pada ayat yang menceritakan jawaban Maryam (perawan) kepada malaikat yang datang padanya membawa pesan Tuhan bahwa ia akan dikaruniai seorang anak :
قَالَتْ رَبِّ أَنَّى يَكُونُ لِي وَلَدٌ وَلَمْ يَمْسَسْنِي بَشَر
 “Maryam berkata: Tuhanku, bagaimana mungkin aku mempunyai anak padahal aku tidak pernah disentuh manusia (basyar) (QS.Ali Imran : 47)
Maryam berkata demikian sebab dia tahu bahwa yang dapat menyentuh (hubungan seksual) itu hanya manusia dalam arti makhluk biologis, dan anak adalah buah dari hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan . Nalar Maryam tidak menerima, bagaimana mungkin dia akan punya anak padahal dia tidak pernah berhubungan dengan laki-laki.
Penolakan orang-orang kafir untuk beriman, juga karena pandangan mereka terhadap seorang rasul yang hanya pada sisi biologisnya saja. Yakni  sebagai manusia yang sama seperti mereka yang makan, minum, jalan-jalan di pasar, dan melakukan aktifitas lainnya[16]. Mereka tidak mempertimbangkan aspek lain dari seorang rasul seperti kapasitas, moralitas, kredibilitas kepribadiannya, dan akseptabilitas di mata umatnya. Karena itu Allah SWT menyuruh Rasulullah saw untuk menegaskan bahwa secara biologis ia memang seperti manusia biasa, tetapi memiliki perbedaan dari yang lain yaitu penunjukan langsung dari Tuhan untuk menyampaikan risalah-Nya. Dan dari sisi inilah Rasulullah menjadi manusia luar biasa.
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَي
 “Katakanlah (Muhammad kepada mereka bahwa) aku ini manusia biasa (basyar) seperti kamu. Hanya saja aku diberi wahyu” (QS.Al-Kahfi : 110)[17]
Beberapa ayat di atas dengan jelas menegaskan bahwa konsep basyar selalu dihubungkan dengan sifat-sifat ketubuhan (biologis) manusia yang mempunyai bentuk/ postur tubuh, mengalami pertumbuhan dan perkembangan jasmani, makan, minum, melakukan hubungan seksual, bercinta, berjalan-jalan di pasar, dan lain-lain. Dengan kata lain, basyar dipakai untuk menunjuk dimensi alamiah yang menjadi ciri pokok manusia pada umumnya.
  1. Al-Insan.
Kata al-insan disebut sebanyak 65 kali dalam al-Quran. Hampir semua ayat yang menyebut manusia dengan kata insan, konteksnya selalu menampilkan manusia sebagai makhluk istimewa, secara moral maupun spiritual. Keistimewaan  itu tidak dimiliki oleh makhluk lain. Jalaludin Rahmat memberi penjabaran al-insan secara luas pada tiga kategori. Pertama, al-insan dihubungkan dengan keistimewaan manusia sebagai khalifah dan pemikul amanah. Kedua, al-insan dikaitkan dengan predisposisi negatif yang inheren dan laten pada diri manusia. Ketiga, al-insan disebut dalam hubungannya dengan proses penciptaan manusia. Kecuali kategori ketiga, semua konteks al-insan menunjuk pada sifat-sifat psikologis atau spiritual.
Kategori pertama dapat difahami melalui empat penjelasan sebagai berikut :
1.      Manusia dipandang sebagai makhluk unggulan atau puncak penciptaan Tuhan. Keunggulannya terletak pada wujud kejadiannya sebagai makhluk yang diciptakan dengan sebaik-baik penciptaan[18]. Manusia juga disebut sebagai makhluk yang dipilih Tuhan[19] untuk mengemban tugas kekhalifahan di muka bumi.[20]
2.      Manusia adalah satu-satunya makhluk yang dipercaya Tuhan untuk mengemban amanah[21], suatu beban sekaligus tanggung jawabnya sebagai makhluk yang dipercaya dan diberi mandat untuk mengelola bumi. Menurut Fazlurrahman amanah yang dimaksud terkait dengan fungsi kreatif manusia untuk menemukan hukum alam, menguasainya (dalam bahasa al-Quran mengetahui nama-nama semua benda), dan kemudian menggunakannya dengan insiatif moral untuk menciptakan tatanan dunia yang lebih baik[22]. Sedangkan menurut Thabathaba’i amanah dimaknai sebagai predisposisi positif (isti’dad) untuk beriman dan mentaati Allah. Dengan kata lain manusia didisposisikan sebagai pemikul al-wilayah al-Ilahiyah[23]. Amanah inilah yang dalam ayat-ayat lain disebut sebagai perjanjian primordial atau perenial. Secara metaforis perjanjian itu digambarkan dalam QS. Al-A’raf : 172 :
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belulang) anak cucu Adam keturunan mereka, dan Allah mengambil kesaksian terhadap ruh mereka (seraya berfirman) : Bukankah Aku ini Tuhanmu?. Kami bersaksi”
 (QS.al-A’raf : 172)
3.      Merupakan konsekuensi dari tugas berat sebagai khalifah dan pemikul amanah, manusia dibekali dengan akal kreatif yang melahirkan nalar kreatif sehingga manusia memiliki kemampuan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan[24]. Karena itu berkali-kali kata al-insan dihubungkan dengan perintah melakukan nadzar (pengamatan, perenungan, pemikiran, analisa) dalam rangka menunjukkan  kualitas pemikiran rasional dan kesadaran khusus yang dimilikinya[25].
Tugas kekhalifahan dan amanah juga membawa konsekuensi bahwa al-insan dibebani atau dihubungkan dengan konsep tanggung jawab[26] untuk melakukan yang terbaik. Manusia diwasiatkan agar berbuat baik[27] karena setiap amal perbuatannya dicatat dengan cermat dan mendapat balasan setimpal[28]. Dan dalam rangka ini, manusia diingatkan dengan sejumlah tantangan karena insanlah yang dimusuhi syetan[29] dan ditentukan nasibnya di hari kiamat[30].
4.      Dalam mengabdi kepada Allah manusia (al-insan) sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan kondisi psikologisnya. Jika ditimpa musibah ia selalu menyebut nama Allah. Sebaliknya jika mendapat keberuntungan dan kesuksesan hidup cenderung sombong, takabbur, dan musyrik.[31]
Kategori kedua al-insan dikaitkan dengan predisposisi negatif pada dirinya, dijelaskan dalam al-Quran bahwa manusia itu cenderung berbuat zalim dan kufur, tergesa-gesa, bakhil, bodoh, banyak membantah dan suka berdebat tentang hal-hal yang sepele sekalipun, resah gelisah dan enggan membantu orang lain, ditakdirkan untuk bersusah payah dan menderita, ingkar dan enggan berterima kasih kepada Tuhan, suka berbuat dosa dan meragukan hari akhirat[32].
Sifat-sifat manusia pada pada kategori kedua ini bila dihubungkan dengan sifat-sifat manusia pada kategori pertama, memberi kesimpulan bahwa manusia adalah makhluk yang paradoksal, yang berjuang mengatasi konflik dan kekuatan yang saling bertentangan ; tarik menarik antara mengikuti fitrah (memikul amanah dan menjadi khalifah) dan mengikuti nafsu negatif dan merusak. Kedua kekuatan itu digambarkan dalam asal usul kejadian manusia yang dalam bahasa Yusuf Qardawi baina qabdhat al-tin wa nafkhat al-ruh.
  1. Al-Nas.
Konsep al-Nas mengacu pada manusia sebagi makhluk sosial. Manusia dalam arti al-nas paling banyak disebut al-Quran yaitu sebanyak 240 kali. Salah satunya    adalah :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوباً وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا
“Wahai manusia sesungguhnya Kami ciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal”
(QS.al-Hujurat : 13)
Menariknya dalam mengungkapkan manusia sebagai makhluk sosial, al-Quran tidak pernah melakukan generalisasi, melainkan ditunjukkan dengan dua model pengungkapan :
  1. Dengan menunjukkan kelompok-kelompok sosial dengan disertai karakteristik masing-masing yang berbeda satu sama lain. Ayat-ayatnya biasanya menggunakan ungkapan wa min al-nas (dan diantara manusia). Jika diperhatikan ayat-ayat yang menggunakan ungkapan ini ditemukan petunjuk bahwa ada kelompok manusia (tidak seluruhnya) yang mengaku beriman padahal sesungguhnya tidak beriman[33], ada sebagian manusia mengambil sesembahan selain Allah[34]. Juga didapat informasi bahwa manusia secara sosial cenderung memikirkan kehidupan dunia[35], berdebat dengan Allah tanpa ilmu, petunjuk dan kitab Allah[36], yang menyembah Allah dengan iman yang lemah[37].
  2. Dengan mengelompokkan manusia berdasarkan mayoritas yang umumnya menggunakan ungkapan aktsaran-nas (sebagian besar manusia). Memperhatikan ungkapan ini ditemukan petunjuk dari al-Quran bahwa sebagian besar (mayoritas) manusia mempunyai kualitas rendah, dari sisi ilmu maupun iman. Hal ini dapat dilihat dari ayat-ayatnya yang menyatakan bahwa kebanyakan manusia tidak berilmu, tidak bersyukur, tidak beriman, fasiq, melalaikan ayat-ayat Allah, kufur, dan harus menanggung azab. Kesimpulan itu dipertegas dengan ayat-ayat lain yang menunjukkan bahwa sangat sedikit kelompok manusia yang beriman, yang berilmu dan dapat mengambil pelajaran, yang mau bersyukur atas nikmat Allah.
Demikian banyaknya penyebutan kata al-nas dalam al-Quran – jika dikaitkan dengan al-Quran sebagai petunjuk – menunjukkan bahwa sebagian besar bimbingan Tuhan  diperuntukkan bagi manusia sebagai makhluk sosial. Sebagai contoh adalah masalah perkawinan. Dalam al-Quran Tuhan tidak mengatur tata cara hubungan seksual, karena sebagai makhluk biologis semua manusia betapapun primitifnya bisa melakukannya. Justru yang dipandang perlu untuk diatur Tuhan adalah hubungan sosial pasca perkawinan meliputi hak, kewajiban, tanggung jawab suami istri dalam rumah tangga dan hubungan yang terjadi setelah berkeluarga mencakup pendidikan anak, kekerabatan, warisan dan masalah yang berkaitan dengan kekayaan. Perlunya pengaturan karena pada aspek-aspek sosial manusia sering kelewat batas dan tak terkendali. 
Peran dan tanggung jawab manusia.
Dengan berbagai macam kedudukannya baik sebagai makhluk biologis, makhluk istimewa (bernalar, pembawa amanah, bertanggung jawab), dan makhluk sosial, manusia diberi dua peran sekaligus dituntut bertanggung jawab dalam menjalankan perannya yaitu sebagai khalifatullah dan sebagai ‘abdullah. Peran sebagai khalifatullah digambarkan QS. Al-Baqarah : 30
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَة
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat : Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di muka bumi”
(QS.al-Baqarah : 30)
sedang peran sebagai ‘abdullah dinyatakan dalam QS. Al-Dzariyat : 56
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُون
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar beribadah kepada-Ku”
(QS.al-Dzariyat : 56)
Yang penting untuk dicatat adalah peran manusia sebagai khalifatullah dan sebagai ‘abdullah tidak  bisa lepas dari realitas kedudukan manusia sebagai makhluk biologis, makhluk istimewa dan makhluk sosial[38]. Diantara contohnaya adalah : Manusia diperintahkan untuk mengerjakan shalat dan hukum shalat adalah berdiri. Tetapi pada saat manusia mengalami sakit parah diperbolehkan melaksanakan shalat dengan duduk atau berbaring. Artinya manusia diberi dispensasi karena masalah sakit adalah persoalan biologis manusia. Contoh lain dalam keadaan perjalanan jauh seseorang boleh men-jama’ dan meng-qashar shalat. Begitupun wanita menyusui, orang yang lanjut usia diperbolehkan untuk tidak berpuasa, dan lain sebagainya. Hal yang sama berlaku pada kedudukan manusia sebagai makhluk sosial. Contohnya nabi Muhammad saw yang biasanya shalat khusyu’ dan zikirnya panjang, berulangkali mempercepat shalatnya gara-gara ada tamu yang menunggu. Nabi juga mengingatkan para imam tidak memperpanjang shalat dengan pertimbangan sosial pada makmumnya.
Wallahu a’lam.
*) Mahasiswa Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon
Daftar Pustaka :

1.       Al-Quranul Karim
2.       Membumikan al-Quran, Quraish Shihab,  Mizan : 1994
3.       Teologi Pendidikan, Mohammad Irfan-Mastuki HS, Friska Agung Insani : 2003
4.       Horison Manusia, Mahmoud Rajabi, Al-Huda : 2006
5.       http:/kajian-agama,blogspot.com/
6.       Al-Mizan fi Tafsir al-Quran, Muhammad Husein Thabathaba’i, al-Hauza al-Ilmiyah : tt.
7.        Sosiologi Islam, terjemahan dari On the Sociology of Islam, Ali Syariati, Ananda I : 1982
8.       Islam Alternatif, Jalaluddin Rahmat, Mizan : 1991
9.       at-Tahrir wat-Tanwir, Thahir Ibn ‘Asyur
10.    Tafsir fi Dzilalil-Quran, Sayyid Quthub,
11.    Tafsir al-Misbah, Quraish Shihab, Lentera Hati : 2002
12.    The Quranic Concept of God, The Universe and Man, Fazlurrahman, Mizan : 1990
13.    Al-Mizan fi Tafsir al-Quran, Muhammad Husein Thabathaba’i, al-Hauza al-‘Ilmiyah 
14.    Dinamika Kehidupan Religius, Muhammad Tholchah Hasan, Listafariska : 2003


[1] Membumikan al-Quran, Quraish Shihab,  Mizan : 1994 , hal. 233
[2] Teologi Pendidikan, Mohammad Irfan-Mastuki HS, Friska Agung Insani : 2003, hal. 55
[3] Horison Manusia, Mahmoud Rajabi, Al-Huda : 2006, hal. 91
[4] http:/kajian-agama,blogspot.com/
[5] Al-Mizan fi Tafsir al-Quran, Muhammad Husein Thabathaba’i, al-Hauza al-Ilmiyah : tt.  
[6] Redaksi hadis tersebut  berbunyi : “Saling berwasiatlah untuk bebuat baik kepada perempuan. Karena  mereka itu diciptakan dari tulang rusuk. Dan sesungguhnya bagian tulang rusuk yang paling bengkok adalah bagian atasnya. Kalau engkau berupaya meluruskannya dia akan patah, dan kalau engkau membiarkannya dia tetap bengkok”. (Shahih Bukhari 1 : 2680 dan Musnad Ahmad 2 : 496)

[7] Tafsir Al-Misbah, Quraish Shihab, Lentera Hati : 2000, Vol. 2 Hal. 102.
[8] Sosiologi Islam, terjemahan dari On the Sociology of Islam, Ali Syariati, Ananda I : 1982
[9] Islam Alternatif, Jalaluddin Rahmat, Mizan : 1991
[10] at-Tahrir wat-Tanwir, Thahir Ibn ‘Asyur
[11] Bunyi ayat tersebut :  “Hai manusia seandainya kamu dalam keraguan tentang kebangkitan maka sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah”
[12] Tafsir fi Dzilalil-Quran, Sayyid Quthub,
[13] Tafsir al-Misbah, Quraish Shihab, Lentera Hati : 2002, vol 9 hal. 13 dan 167
[14] http :/kajian-agama, blogspot.com/
[15] Tafsir fi Dzilalil Quran, Sayyid Quthub,
[16] Lihat QS. Al-Ahzab : 33, QS. Al-Furqan : 7 dan 20.
[17] Lihat juga QS. Fusshilat : 6
                                                                  
18  QS. At-Tin : 4
[19]  QS. Thaha : 122
[20]  QS. Al-Baqarah : 30. Lihat juga QS. Al-An’am : 165
[21] QS. Al-Ahzab : 72
[22] The Quranic Concept of God, The Universe and Man, Fazlurrahman, Mizan : 1990
[23] Al-Mizan fi Tafsir al-Quran, Muhammad Husein Thabathaba’i, al-Hauza al-‘Ilmiyah : tt.
[24] QS. Al-‘Alaq : 4-5
[25] Lihat QS. An-Nazi’at : 35 (nadzar pada perbuatannya), QS. ‘Abasa : 24-36 (nadzar pada proses terbentuknya makanan), QS. At-Thariq : 5 (nadzar pada proses penciptaannya)
[26] QS. Al-Qiyamah : 3 dan 36, QS. Qaaf : 16
[27] QS. Al-‘Ankabut : 8, Q S. Luqman : 14, QS. Al-Ahqaf : 15
[28] QS. An-Najm : 39
[29] QS. Al-Isra : 53
[30] QS. Al-Qiyamah : 10
[31] QS. Yunus : 12, QS. Hud : 9
[32] QS. Ibrahim  : 34, QS. Al-Isra : 11, QS. Al-Isra : 100, QS. Al-Ahzab : 72, QS. An-Nahl  : 4, QS.al-Ma’arij : 19, QS. Al-Insyiqaq : 6, QS. Al-‘Adiyat : 6, QS. Al-‘Alaq : 6, QS. Maryam : 66
[33] QS. Al-Baqarah : 8
[34] QS. Al-Baqarah : 165
[35] QS. Al-Baqarah : 200
[36] QS. Luqman : 20, QS. Al-Hajj : 3,8
[37] QS. Al-Hajj : 11, QS. Al-‘Ankabut : 10
[38] Dinamika Kehidupan Religius, Muhammad Tholchah Hasan, Listafariska : 2003