وَإِذْ وَاعَدْنَا
مُوسَى أَرْبَعِينَ لَيْلَةً ثُمَّ اتَّخَذْتُمُ الْعِجْلَ مِنْ بَعْدِهِ
وَأَنْتُمْ ظَالِمُونَ (البقرة : 51 )
“Dan
(ingatlah), ketika kami berjanji kepada Musa (memberikan Taurat, sesudah) empat
puluh malam, lalu kamu menjadikan anak lembu (sembahan) sepeninggalnya dan kamu
adalah orang-orang yang zalim”
Ayat ini merupakan
uraian yang ketiga dari nikmat Allah swt yang diberikan kepada Bani
Israil. Peletakan ayat ini beriringan dengan ayat sebelumnya mengisyaratkan
adanya korelasi integratif (hubungan kesatuan yang tidak terpisahkan)
diantara keduanya. Dimana pada ayat sebelumnya, Allah swt mengkisahkan
penyelamatan Bani Israil dari pengejaran Fir’aun dan kaumnya yang merupakan
nikmat penyelamatan jasmani. Sedang pada ayat ini, Allah swt mengungkapkan
janji-Nya memenuhi harapan Bani Israil untuk memiliki kitab suci sebagai
pedoman hidup, sesuai dengan permintaan mereka, yang merupakan
nikmat penyelamatan ruhani.
Dalam hal janji
untuk menurunkan kitab suci Taurat
kepada Nabi Musa as sebagai pedoman kehidupannya dan kehidupan umatnya (Bani Israil), Allah swt menuntut tamhid (introduksi/upaya
pendahuluan) kepada Nabi Musa as dalam bentuk keharusan melaksanakan munajat
(menghadapkan diri) lebih dulu selama waktu yang ditentukan, yakni selama 40 (empat puluh) malam. Hal ini
sesuai dengan isyarat penggunaan kata
kerja ‘fi’il’ yang menunjuk arti ‘janji’ pada ayat di atas ‘waa’adna’
dalam bentuk mufa’alah yang berfaedah musyarakah (persekutuan dua
fihak dalam satu pekerjaan). Secara sederhana dapat diilustrasikan,
seakan-akan Allah swt berfirman : “Wahai Musa! Aku berkenan memberimu
Taurat, kitab suci yang engkau inginkan buat pedoman hidupmu dan umatmu, dengan
catatan engkau laksanakan lebih dulu munajat kepada-Ku selama empat puluh
malam”. Mengapa bargaining munajat untuk memperoleh kitab
suci dilakukan selama empat puluh hari ‘arba’in’ ? Dan mengapa
pula pelaksanaannya pada malam hari ‘lailatan’ ?
Angka empat puluh ‘arba’in’
adalah angka yang menunjukkan kesempurnaan dalam banyak hal, sebagaimana
disebutkan pada teks-teks keagamaan baik
dalam al-Quran maupun al-Hadis. Diantaranya adalah: Pertama;
Proses penciptaan manusia pertama (Adam as) – diungkapkan hadis riwayat Ibn
Mas’ud ra dalam Tafsir Ibn Katsir – peniupan ruh ke kerangka jasad
berselang waktu 40 tahun. Kedua; Fase (tahapan) penciptaan manusia dalam
rahim ibunya, dari fase nuthfah (sperma), ‘alaqah (gumpalan darah
yang menempel di dinding rahim), mudhghah (sekerat daging) hingga ke
peniupan ruh, masing-masing berlangsung selama 40 hari. ‘Inna ahadakum
yujma’u khalqahu fi bathni ummihi arba’ina yauman tsumma takunu
‘alaqatan mitsla dzalik tsumma takunu mudghatan mitsla dzalik’ Ketiga; Akal
manusia pada umumnya mencapai tingkat kesempurnaan potensinya pada usia 40
tahun. ‘Hatta idza balagha asyuddahu wa balagha arba’ina sanah’
(al-Ahqaf : 15). Karena itu junjungan kita Nabi Muhammad saw pun dinyatakan
sebagai rasul pada saat beliau telah berusia 40 tahun. Keempat; Orang
yang menghafal dan mengamalkan kandungan 40 hadis akan dibangkitkan bersama
para ulama. ‘Man hafidza ‘ala ummati arba’ina haditsan fi ma
yanfa’uhum min amri dinihim ba’atsahul-Lahu yaumal-qiyamati minal-‘ulama’ Kelima;
Orang yang mengamalkan shalat 40 waktu di masjid Nabawi akan selamat dan
terbebas dari siksa api neraka serta terbebas dari nifaq. ‘Man shalla fi
masjidi arba’ina shalatan la yafutuhu shalatun kutibat lahu baraatun
minan-nar wa najatun minl-‘adzab wa bari-a minan-nifaq’ . Alhasil angka 40
bukan hanya sekedar menunjuk kwantitas (jumlah) semata, melainkan dibaliknya
terdapat rahasia. Yakni ketika melewati
kurun waktu 40 hari kondisi ruhani Nabi Musa as telah berada dalam keadaan yang
sempurna dan benar-benar telah siap untuk menerima kitab yang mulia. Karena itu tidak heran jika dikalangan Para
Salikin (orang-orang yang merambah jalan menuju Allah swt) dikenal maqamat
(stasiun-stasiun persinggahan ruhani) sejumlah 40, seperti yang dilakukan
oleh Tokoh Sufi Jawa, Sultan Hadiwijaya yang masyhur dengan sebutan Jaka
Tingkir, yang divisualisasikan lewat kisah penaklukannya terhadap 40 ekor
buaya. Dikalangan para kyai pun angka 40 kerap digunakan untuk meriyadlah (melatih)
jiwa santri-santrinya, seperti anjuran berjama’ah selama 40 hari
berturut-turut, dan melakukan amalan-amalan wirid atau puasa selama 40 hari
lamanya.
Selanjutnya
disebutkannya waktu malam hari ‘lailatan’, paling tidak dilatar
belakangi dua alasan. Pertama;
malam hari adalah waktu yang paling baik digunakan untuk bermunajat
(menghadapkan diri) kepada Allah swt, oleh karena suasanananya yang gelap dan hening
serta tidak adanya aktifitas apapun, sehingga dapat membantu melahirkan
ketenangan batin dan kekhusukan jiwa dalam menghadap kepada Allah swt. Kedua; malam hari adalah waktu dimana orang-orang
yang sore hari lumrahnya melakukan maksiat, kelelahan dan tertidur tanpa lebih
dulu menjalani tobat. Maka jika pada saat yang sama, ada hamba-Nya yang
bermunajat, Allah swt tentu akan lebih bermurah hati mencurahkan rahmat. Karena
itulah maka Allah swt dalam beberapa firman-Nya menganjurkan manusia untuk
menghadapkan diri pada malam hari. Bahkan Rasulullah saw pun secara lugas
menyatakan dalam sabdanya :
ينزل ربنا
تبارك وتعالى في كل ليلة إلى السماء الدنيا حين يبقى ثلث الليل الآخر فيقول : من
يدعوني فأستجيب لَه من يسألني فأعطيه من يستغفرني فأغفر لَه
“Tuhan turun ke langit dunia pada setiap
malam di sepertiga malam terakhir, kemudian berfirman : Siapakah yang berdoa
kepada-Ku, maka Aku kabulkan. Siapakah yang memohon kepada-Ku, Aku penuhi
permohonannya. Siapakah yang meminta ampunan kepada-Ku, Aku ampuni dirinya”
Pelajaran dari yat ini, adalah : Jika Nabi Musa as saja yang
berpredikat sebagai kalimul-Lah dan salah seorang ulul-azmi, untuk mendapatkan
keinginannya melakukan bargaining bermunajat kepada Allah swt selama 40 hari.
Wajarkah bila kita menginginkan sesuatu hanya dengan bermodalkan topang dagu? Istafti
qalbak!.
ليست هناك تعليقات:
إرسال تعليق