السبت، 23 فبراير 2013

MAKALAH : EARLY CHILDHOOD EDUCATION Antara Keniscayaan dan Kekhawatiran









Early Childhood : Golden Age

Secara kronologis (menurut urutan waktu), early childhood adalah masa perkembangan anak dari usia 1 atau 2 tahun hingga 5 atau 6 tahun. Masa ini merupakan masa emas ( golden age ) bagi anak. Artinya bila seseorang pada masa itu mendapat pendidikan yang tepat, maka ia memperoleh kesiapan belajar yang baik yang merupakan salah satu kunci utama bagi keberhasilan belajarnya pada jenjang berikutnya.
 Realitas itu didasarkan pada hasil penelitian Dr.Benyamin S.Bloom,  penulis Stability and Change in Human Characteristics yang mengemukakan bahwa sekitar 50 persen potensi inteligensi anak sudah terbentuk pada usia 4 tahun dan mencapai 80 persen saat berusia 8 tahun dari total kecerdasan yang akan dicapai pada usia 18 tahun.  Berbagai penelitian ilmiah juga menunjukkan bahwa usia 4 tahun pertama merupakan masa-masa paling menentukan dalam membangun kecerdasan anak dibandingkan masa-masa sesudahnya. Artinya, jika pada usia tersebut anak tidak mendapatkan rangsangan yang maksimal, maka potensi tumbuh kembang anak tidak akan teraktualisasikan secara optimal (Sutaryati, 2006:10). Dan masa emas yang demikian berpengaruh terhadap perkembangan anak pada masa-masa berikutnya itu, seumur hidupnya hanyalah datang sekali. Sehingga apabila terlewati, dimana pada masa itu anak tidak mendapat pendidikan yang tepat, maka anak akan kehilangan peluang untuk membangun pondasi untuk keberhasilannya di masa depan.
Maka tidak heran jika kini telah menjadi tren di mana-mana, para orang tua cenderung menyekolahkan putra-putrinya lebih awal (early childhood education). Setiap menjelang tahun ajaran baru, Play Group (PG) dan Taman Kanak-kanak (TK) ramai diserbu banyak orang, yang masing-masing terdorong oleh keinginan  untuk memberikan pendidikan yang terbaik bagi anak-anaknya meski harus merogoh kocek dalam-dalam.
Fenomena early childhood education ini di satu sisi menggembirakan, selain - mengingat kenyataan bahwa early childhood merupakan golden age - juga dalam konteks yang lebih luas dan jauh ke dapan, early childhood education dapat menjadi investasi strategis untuk membangun Sumber Daya Manusia yang unggul dan berkualitas, sehingga di kemudian hari bangsa ini mampu menjadi bangsa yang maju dan mandiri.
Namun ditengah menjamurnya lembaga-lembaga pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan usia dini, pada sisi lain fenomena ini menyimpan kekhawatiran. Kekhawatiran itu muncul akibat tidak sedikit lembaga penyelenggara pendidikan usia dini yang demi sebuah prestise menerapkan kurikulum yang terlalu berat, banyak mengatur dan mengontrol (seperti calistung misalnya) yang tidak lagi sesuai dengan keunikan dan tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini itu sendiri. Padahal Pemerintah sendiri telah memberikan batasan melalui UU Sisdiknas No.20/2003 yang menegaskan bahwa tujuan utama Pendidikan Anak Usia Dini adalah untuk membentuk anak Indonesia yang berkualitas, yaitu anak yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan tingkat perkembangannya sehingga memiliki kesiapan yang optimal di dalam memasuki pendidikan dasar serta mengarungi kehidupan di masa dewasa.
Betapa tidak mengkhawatirkan. John Cadlwell Holt dalam bukunya How Children Fail (1964), menyatakan :
“Manusia pada dasarnya adalah makhluk belajar dan senang belajar sehingga kita tidak perlu ditunjukkan bagaimana cara belajar. Yang membunuh kesenangan belajar adalah orang-orang yang berusaha menyelak, mengatur, atau mengontrolnya”.
Dimana dengan merdasarkan pada filosofi ini, maka kurikulum pendidikan usia dini yang terlalu berat, banyak mengatur dan mengontrol bisa membunuh kreativitas yang akan berakibat kontra produktif bagi si anak. Lain dari pada itu Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib KW yang digelari ‘pintu ilmu pengetahuan’[1] dalam konteks pendidikan anak menyatakan :
لاَعِبُوهُمْ سَبْعًا وَأَدِّبوُهُمْ سَبْعًا وَصَادِقُوهُمْ  سبعًا، ثم اتْركُوا لهم الحَبْلَ عَلى الْغَارِب
“Ajaklah mereka bermain pada usia 0-7 tahun, ajarilah mereka adab/disiplin pada usia 7-14 tahun, jadilah teman baik mereka pada usia 14-21 tahun, kemudian biarkan mereka mandiri ”.
Pernyataan Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib KW di atas menegaskan bahwa pendidikan anak memiliki 4 tahap yaitu; Tahap bermain (0-7 tahun), tahap penanaman disiplin (7-14 tahun), tahap kemitraan (14-21 tahun) dan tahap kemandirian (21 tahun ke atas).

Oleh karena itu, penerapan pendidikan anak usia dini (early childhood education) meniscayakan pemahaman terhadap model pembelajaran yang tepat yang bepijak pada pengenalan terhadap perkembangan anak usia dini secara cermat.

Perkembangan Anak Usia Dini

Terkait dengan penerapan model pembelajaran yang ideal, setidaknya ada tiga macam perkembangan anak usia dini yang mesti dicermati, yaitu perkembangan fisik, perkembangan kognitif, dan perkembangan psikososial.

1.        Perkembangan Fisik

Pada masa early childhood, telah tampak pada anak otot-otot tubuh yang  tumbuh yang memungkinkan dapat melakukan ketrampilan motorik halus maupun motorik kasar. Dan pada masa ini, gerakan anak lebih terkendali dan terorganisasi dalam pola-pola seperti menegakkan tubuh dalam posisi berdiri, tangan dapat terjuntai dengan santai, mampu melangkahkan kaki dengan menggerakkan tungkai dan kaki, yang memungkinkannya dapat merespon pelbagai situasi.

Pada masa ini juga, gigi anak mencapai 20 buah, otot dan sistem tulang terus tumbuh sejalan dengan usianya, dan kepala serta otaknya telah mencapai ukuran orang dewasa dimana jaringan sarafnya tumbuh mengikuti pertumbuhannya.

Secara khusus perkembangan motorik anak (proses tumbuh kembang kemampuan gerak) pada dasarnya  berkembang sejalan dengan kematangan saraf dan otot anak. Sehingga, setiap gerakan sesederhana apapun, adalah merupakan hasil pola interaksi yang kompleks dari berbagai bagian dan system dalam tubuh yang dikontrol oleh otak. Secara rinci tahapan-tahapan perkembangannya pada masa early childhood sebagai berikut:
Usia 2-3 tahun
Motorik Kasar
Motorik Halus
• melompat-lompat
• berjalan mundur dan jinjit
• menendang bola
• memanjat meja atau tempat tidur
• naik tangga dan lompat di anak 
  tangga terakhir
• berdiri dengan 1 kaki
• mencoret-coret dengan 1 tangan
• menggambar garis tak beraturan
• memegang pensil
• belajar menggunting
• mengancingkan baju
• memakai baju sendiri
Usia 3-4 tahun
Motorik Kasar
Motorik Halus
• melompat dengan 1 kaki
• berjalan menyusuri papan
• menangkap bola besar
• mengendarai sepeda
• berdiri dengan 1 kaki
• menggambar manusia
• mencuci tangan sendiri
• membentuk benda dari plastisin
• membuat garis lurus dan lingkaran 
  cukup rapi


Usia 4-5 tahun
Motorik Kasar
Motorik Halus
• menuruni tangga dengan cepat
• seimbang saat berjalan mundur
• melompati rintangan
• melempar dan menangkap bola
• melambungkan bola
• menggunting dengan cukup baik
• melipat amplop
• membawa gelas tanpa
  menumpahkan isinya
• memasukkan benang ke lubang 
  besar

Teori yang secara detail menjelaskan sistematika motorik yaitu Dynamic System Theory yang dikembangkan Thelen & Whiteneyeer mengungkapkan bahwa untuk membangun kemampuan motorik anak harus mempersepsikan sesuatu di lingkungannya yang memotivasinya untuk melakukan sesuatu, dan menggunakan persepsinya tersebut untuk bergerak. Kemampuan motorik mempresentasikan keinginan anak. Misalnya ketika anak melihat mainan yang beraneka ragam, anak memperspsikan dalam otaknya bahwa dia ingin memainkannya. Persepsi tersebut memotivasi anak untuk melakukan sesuatu yaitu bergerak untuk mengambilnya.

Teori tersebut juga menjelaskan bahwa kemampuan anak menciptakan motorik baru merupakan hasil dari banyak faktor, yaitu perkembangan sistem saraf, kemampuan fisik yang memungkinkannya untuk bergerak, keinginan anak yang memotivasinya untuk bergerak, dan lingkungan yang mendukung pemerolehan kemampuan motorik.

2.        Perkembangan Kognitif

Menurut Piaget (ahli psikologi kognitif), kondisi berpikir anak pada masa ini berada pada tahap pra-operasional. Pieget  - yang menganut teori konstruktivisme,  (yang menggambarkan perkembangan kognitif bukan sebagai  pemunculan pengetahuan dan kemampuan bawaan) – membagi perkembangan kognitif menjadi empat tahapan yaitu: Pertama; Tahap  Sensori Motorik untuk anak usia 0–2 tahun, Kedua; Tahap  Pra- Operasional untuk anak usia 2–7 tahun, Ketiga; Tahap  Operasional Konkrit untuk anak usia 7–11 tahun, dan Keempat; Tahap Operasional Formal untuk anak usia 11 tahun sampai anak berusia dewasa.

Menurutnya tahap pra-operasional  adalah tahap  dimana proses berpikir berpusat pada penguasaan simbol-simbol misalnya kata-kata yang mampu mengungkapkan pengalaman masa lalu. Karaktersistik utama kognitif pada tahap ini  adalah :

a.    Egocentrism (Egosentris)
Maksudnya anak tidak dapat melihat sesuatu dari pandangan orang lain. Misalnya saat anak berbicara satu sama lain dalam kelompok bermain, tidak terjadi saling interaksi dalam topik pembicaraan.

b.   Rigidity of Tough (Kekakuan berpikir)
Artinya kecenderungan berpikir anak hanya pada satu pandangan dan mengabaikan pandangan orang lain (centracion). Misalnya ketika melihat air di gelas yang tinggi dan gelas yang pendek lebar, meskipun isi air di kedua gelas itu sama, anak tetap akan mengatakan bahwa air di gelas tinggi lebih banyak, karena anak hanya memandang dari satu sisi (ketinggian gelas) dan mengabaikan yang lain (isi dalam gelas yang berbeda).
Centracion dan Egocentrism merefleksikan ketidakmampuan anak pada masa early childhood menghadapi beberapa segi dari situasi pada saat yang bersamaan dan menyebabkan pandangan yang bias. Anak pada masa ini dalam memandang suatu keadaan lebih memfokuskan pada tampilan keadaan ( focus on states atau focus on appearance), bukan pada isi atau kenyataan di balik tampilan itu. Anak pada masa ini juga berpikir hanya pada keadaan ‘sebelum’ dan ‘sesudah’ tidak pada proses perubahan dari sebelum dan sesudah melihat tampilan suatu keadaan.

c.    Semilogical Reasoning  (Penalaran yang semi logis).
Maksudnya anak pada usia ini, akibat dari cara berpikir yang egosentris dan kaku, dalam menjelaskan kejadian alamiah sehari-haei dengan melakukan personifikasi. Misalnya bulan mempunyai kaki, karena dapat berjalan mengikutinya.

d.   Limited Social Cognition  (Keterbatasan menangkap peristiwa sosial).
Artinya dalam berpikir cenderung bersifat kuantitas dan serba fisik, belum mampu berpikir pada tataran abstrak yang bersifat kualitas. Piaget membuktikan keterbatasan menangkap peristiwa sosial saat anak mengatakan si A yang memecahkan gelas satu lusin ketika sedang membantu ibunya, sangat bersalah, daripada si B yang memecahkan gelas satu buah ketika sedang mencuri minuman ibunya.

3.        Perkembangan Psikososial

Mengacu pada teori Erikson, pada masa early childhood, anak mencapai suatu tahap kemandirian tertentu (pada usia 2-3 tahun) apabila mendapat kesempatan dan memperoleh dorongan dari orang tua/ gurunya, untuk melakukan yang diinginkannya, dan sesuai dengan tempo dan caranya sendiri. Tetapi jika orang tua/ guru tidak sabar dan terlalu banyak melarang, maka anak akan memiliki sikap ragu-ragu terhadap lingkungannya. Tahap ini oleh Erikson disebut tahap Autonomy vs Shame and Doubt.

Selanjutnya pada usia 4-5 tahun, anak mencapai tahap Insiative vs Guilt yaitu kemampuan untuk melakukan partisipasi dalam berbagai kegiatan fisik dan mampu mengambil insiatif untuk suatu tindakan yang akan dilakukan. Pada tahap ini jika anak diberi kebebasan untuk menjelajah dan bereksperimen dalam lingkungannya, dan orang tua/ guru memberi waktu  untuk menjawab pertanyaan anak dan menuruti keinginannya, maka anak cenderung akan lebih banyak mempunyai insiatif dalam menghadapi masalah yang ada disekitarnya. Sebaliknya jika selalu dihalangi keinginannya dan pertanyaan atau apa saja yang dilakukannya dianggap tidak ada artinya, maka anak akan selalu merasa bersalah.

Early Childhood Education yang Ideal

Dengan mencermati perkembangan anak pada masa early childhood baik perkembangan fisik, kognitif maupun psikososial, maka pendidikan usia dini hendaknya tetap mengacu pada buah pikiran Froebel yang menyatakan bahwa pendidikan usia dini adalah konsep belajar melalui bermain baik bermain bebas, bermain dengan bimbingan, maupun bermain yang diarahkan yang berdasarkan minat anak, dimana anak sebagai pusatnya (child centered) yang menurut Mentessori anak-anak adalah individu-individu yang unik dan akan berkembang sesuai kemampuan mereka sendiri. Tugas orang tua dan orang dewasa sebagai pendidik/pengasuh adalah bagaimana memberi sarana dorongan belajar dan memfasilitasi ketika mereka telah siap untuk mempelajari sesuatu. Dan patut dicatat pula bahwa tidak ada anak yang bodoh di dunia ini. Yang ada hanyalah ketertarikan dan minat mereka yang beraneka ragam. Anak-anak mempunyai kecerdasan dan bakat yang berbeda-beda, tugas kita hanyalah memfasilitasi mereka sesuai perkembangan yang mereka butuhkan.

Karenanya untuk menuju pada early childhood education yang ideal, perlu diperhatikan prinsip-prinsip berikut :

1.      Pendidikan usia dini merupakan salah satu bentuk awal pendidikan sekolah (prasekolah). Untuk itu pendidikan usia dini perlu menciptakan situasi pendidikan yang dapat memberikan rasa aman dan menyenangkan.
2.      Masing-masing anak perlu mendapat perhatian yang bersifat individual sesuai dengan kebutuhan anak usia prasekolah.
3.      Perkembangan adalah hasil proses kematangan dan belajar.
4.      Kegiatan belajar di pendidikan usia dini adalah pembentukan perilaku melalui pembiasaan yang terwujud dalam kegiatan sehari-hari
5.      Sifat belajar di pendidikan usia dini merupakan pengembangan kemampuan yang telah diperoleh di rumah.
6.      Bermain merupakan cara yang paling baik untuk mengembangkan kemampuan dan kecerdasan anak didik.

Dan yang tidak boleh diabaikan adalah anak-anak mempunyai kecerdasan dan bakat yang berbeda-beda. Tugas orang tua/ guru adalah memfasilitasi mereka sesuai perkembangan yang mereka butuhkan. Kecerdasan yang berbeda-beda itu yang dikenal dengan kecerdasan multipel (multiple inteligensia) meliputi verbal-linguistic (kemampuan menguraikan pikiran dalam kalimat-kalimat, diskusi, tulisan), logical–mathematical (kemampuan menggunakan logika-matematik dalam memecahkan berbagai masalah), visual spatial (kemampuan berpikir tiga dimensi), bodily-kinesthetic (ketrampilan gerak, menari, olahraga), musical (kepekaan dan kemampuan berekspresi dengan bunyi, nada, melodi, irama), intrapersonal (kemampuan memahami dan mengendalikan diri sendiri), interpersonal (kemampuan memahami dan menyesuaikan diri dengan orang lain), naturalist (kemampuan memahami dan memanfaatkan lingkungan). 
Untuk menumbuh kembangkan kecerdasan-kecerdasan tersebut, anak pada usia dini (early childhood) memerlukan stimulan-stimulan sebagai berikut :



I
Verbal-linguistic (kecerdasan berbahasa verbal)

1. Diajak bercakap-cakap

2. Dibacakan buku cerita berulang-ulang

3. Menyanyi lagu anak-anak

4. Dirangsang untuk berbicara dan bercerita
II
Logical–mathematical (kecerdasan logika-matematik)

1. Menyusun balok

2. Merangkai

3. Menghitung mainan

4. Main Puzzle

5. Permainan komputer




III
Visual spatial (kecerdasan visual)

1. Mengamati gambar, foto

2. Belajar melipat dan menggambar

3. Bermain rumah-rumahan

4. Diajak permainan komputer
IV.
Bodily-kinesthetic (kecerdasan gerak tubuh)

1. Belajar berdiri satu kaki

2. Melatih jongkok, membungkuk

3. Belajar melompat, berlari, melempar, menangkap, menari

4. Mengajak anak pada olah raga permainan
V.
Musical (kecerdasan musikal)

1. Mengajak anak mendengarkan musik

2. Mengajak anak bernyanyi

3. Memainkan alat musik

4. Melatih anak mengikuti nada dan irama
VI
Interpersonal (kecerdasan emosi inter-personal)

1. Mengajak anak bermain bersama dengan anak yang lebih tua dan muda

2. Melatih anak untuk meminjamkan mainan

3. Mengajak anak untuk  bekerja sama membuat sesuatu
VII
Intrapersonal (kecerdasan emosi intra-personal)

1. Mengajak anak untuk menceritakan perasaannya

2. Melatih anak untuk belajar mengungkapkan keinginan

3. Mengajak ngobrol anak mengenai cita-cita
VIII
Naturalist (kecerdasan Naturalis)

1. Mengajak anak untuk memelihara tanaman di pot

2. Memelihara binatang

3. Wisata ke hutan, pantai, sungai dan gunung

4. Mengamati bulan, langit dan bintang

Wallahu a’lam bis-shawab












DAFTAR PUSTAKA

Erikson (1993) Miller P.H,(1993) Theories of Developmental Psychology, 3 th, Ed. New York : WH Freeman and Company.
Eti Nurhayati (2011) Psikologi Pendidikan Inovatif, Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Miller P.H,(1993) Theories of Developmental Psychology, 3 th, Ed. New York : WH Freeman and Company.
Rahmah, Elfi Yuliani (2005) Psikologi Perkembangan, Ponorogo : STAIN Press
Patmonodewo S (2000) Pendidikan Anak Prasekolah, Jakarta : Rineka Cipta
Sri Rahayu Haditono, (1994) Psikologi Perkembangan : Pengantar dalam berbagai bagiannya, Yogyakarta : UGM Press
Muslihatoen, R (1999) Metode Pengajaran di Taman Kanak-kanak, Jakarta : Rineka Cipta


Makalah ini merupakan tugas mata kuliah Psikologi Perkembangan pada Program Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon Program Studi Pendidikan Agama Islam.

[1] Dari sabda Rasulullah SAW : “Ana madinatul ‘ilmi wa ‘Aliyyun babuha” (Aku adalah kota ilmu pengetahuan, sedang Ali adalah pintu gerbang untuk memasukinya)

ليست هناك تعليقات:

إرسال تعليق