Tafsir al-Baqarah ayat : 50 Part 1
وَإِذْ فَرَقْنَا بِكُمُ
الْبَحْرَ فَأَنْجَيْنَاكُمْ وَأَغْرَقْنَا آلَ فِرْعَوْنَ وَأَنْتُمْ تَنْظُرُون (البقرة : 50 )
“Dan (ingatlah) ketika
Kami menyelamatkan kamu dari (Fir’aun dan) pengikut-pengikut Fir’aun. Mereka
menimpakan siksaan yang sangat berat kepadamu. Mereka menyembelih anak-anak
laki-lakimu dan membiarkan hidup anak-anak perempuanmu. Dan pada yang demikian
itu merupakan cobaan yang besar dari Tuhanmu”
Ayat ini merupakan rincian kedua dari nikmat yang Allah SWT
anugerahkan kepada leluhur Bani Israil. Mereka bersama anak cucunya
diselamatkan dari pengejaran Fira’un dan bala tentaranya, ketika
melakukan eksodus meninggalkan Mesir menuju Sinai. Fir’aun
dan bala tentaranya, musuh mereka yang sangat ditakuti dibinasakan. Dan
kebinasaannya bukan hanya cerita semata, melainkan dengan mata kepala sendiri
mereka saksikan. Ini adalah nikmat agung yang dianugerahkan, dimana prosesi
peristiwanya merupakan mukjizat yang tak terulang, yang semestinya dapat
menggugah mereka untuk bersyukur dan dapat menguatkan keimanan.
Eksodus Nabi Musa as
bersama kaumnya Bani Israil yang diceritakan ayat tersebut, sungguh merupakan
peristiwa heroik. Betapa tidak. Saat eksodus terjadi, dengan membawa
serta kaumnya - yang menurut beberapa riwayat - berjumlah 600.000 orang, Nabi
Musa as dengan sangat berani dan keteguhan hati keluar dari Mesir
menuju Sinai. Dan demi menghindar dari lalu lalang kafilah
sekaligus menjauhkan diri dari kejaran Fir’aun, beliau menempuh jalur
yang tidak biasa ditempuh yaitu melalui pantai laut tengah yang jaraknya dekat
hanya 250 mil menuju Sinai, tetapi menelusuri jalur arah tenggara yang
lebih jauh yakni melalui Laut Merah. Celakanya eksodus itu
tercium oleh Fir’aun dan kemudian Fir’aun menyusul, mengejar dari belakang dengan
menyertakan bala tentaranya yang berjumlah 1.000.000 orang. Beruntung mukjizat
dari Allah SWT datang. Laut Merah yang membentang di hadapan Musa as dan
kaumnya berubah menjadi daratan yang memudahkan mereka menyelamatkan diri dari
kejaran. Di sisi lain Laut Merah itu menjadi kuburan bagi bala tentara
Fir’aun.
Kegigihan dan keteguhan hati yang ditampilkan Nabi Musa as sebagaimana
dikemukakan di atas, tidak lain dan
tidak bukan adalah karena spirit tauhid yang mengkristal di jiwa dan
selalu berkobar di dada. Seperti yang tertera dalam surah Thaha, ketika Nabi
Musa as berada di lembah suci Thuwa (innaka bil-wadil-muqoddasi
thuwa), kemudian dinyatakan sebagai orang yang dipilih Allah SWT untuk
menjadi rasul (utusan)-Nya dengan menerima risalah yang diwahyukan (wa
ana-khtartuka fastami’ lima yuha), dan yang menjadi misi utama dari
risalah itu adalah ajaran tauhid (pengesaan Tuhan) yang di-formulasi-kan
melalui pernyataan tidak ada ilah kecuali Allah, yang harus di-implementasi-kan
dengan pengkhususan penyembahan, pengabdian dan penghambaan hanya kepada-Nya (innani
anal-Lahu la ilaha illa ana fa’budni), maka Nabi Musa as bertekad bulat
mensukseskan prinsip tauhid itu yang konsekwensi logis-nya adalah
memperjuangkan dan menegakkan faham persamaan kedudukan manusia. Manusia –
dalam pandangannya – tidak patut tunduk dan menghamba kepada apapun dan
siapapun. Manusia hanya patut tunduk dan menghamba kepada Allah SWT semata. Realitas
yang dihadapi Nabi Musa as demikian kontradiktif dengan misi yang
diembannya, dimana kaumnya (Bani Israil) saat itu dipandang hina, diperbudak,
dijadikan hamba sahaya oleh Fir’aun.
Berbagai upaya dilakukan Musa as untuk mengangkat harkat martabat kaumnya dan membebaskannya
dari tirani Fir’aun, dan pada puncaknya atas petunjuk dan perintah Allah
SWT Nabi Musa as eksodus dari
Mesir negeri di mana kaumnya diperbudak, menuju Sinai negeri yang menjamin
kebebasan. Allah SWT berfirman dalam QS. As-Syu’ara : 52
وَأَوْحَيْنَا
إِلَى مُوسَى أَنْ أَسْرِ بِعِبَادِي إِنَّكُمْ مُتَّبَعُونَ
“Dan Kami wahyukan
(perintahkan) kepada Musa : Pergilah di malam hari dengan membawa
hamba-hamba-Ku (Bani Israil) karena sesungguhnya kamu sekalian akan disusul”
Alhasil prinsip tauhid adalah menghambakan atau memperbudak diri
kepada Allah SWT dan melepas diri dari segala perbudakan kepada siapapun dan
kepada apapun. Prinsip tauhid bukan cuma diemban Nabi Musa as beserta kaumnya,
tetapi menjadi tuntutan bagi semua umat manusia, karena prinsip tauhid
merupakan misi utama sekaligus ajaran
pokok para rasul yang diutus ke dunia, sebagaimana isyarat Allah SWT dalam
surah Al-Anbiya : 25
وَمَا
أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا
إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُون
“Kami tidak mengutus rasul
sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: Bahwasanya tidak ada Tuhan
selain Aku, maka sembahlah Aku”
Selain Allah SWT
yang harus dinegasikan (dinafikan) dalam konteks kehidupan Nabi Musa as dan
kaumnya menjadi obyek menyembahkan diri (memperbudak diri) adalah Fir’aun,
sedang dalam konteks kehidupan kita sekarang adalah hawa nafsu. Allah SWT
mengingatkan kita agar kita tidak menghambakan diri (memperbudak diri) kepada
hawa nafsu melalui firman-Nya :
أَرَأَيْتَ
مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ أَفَأَنْتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلًا
“Sudahkah
engkau (Muhammad) melihat orang yang menjadikan keinginannya (hawa nafsunya)
sebagai tuhannya. Apakah engkau akan menjadi pelindungnya?” (QS. Al-Furqan : 43)
Pertanyaannya kemudian adalah : Sudahkah kita dengan gigih dan keteguhan
hati membebaskan diri dari perbudakan yang dilakukan oleh hawa nafsu,
sebagaimana dahulu Musa as dan kaumnya dengan gigih dan keteguhan hati
membebaskan diri dari perbudakan yang dilakukan Fir’aun. Kita harus selalu
bertanya, agar tauhid yang sering kita akui tidak dipertanyakan.
Wallahu ‘alam.
ليست هناك تعليقات:
إرسال تعليق